Sabtu, 05 Juli 2014

Sepi Bukan Kamu



 

Ruangan tempat peraduan ke dua ku kembali mengabarkan dukanya. Kesedihan menganga menjadi nuansa yang entah pada bagian mana harus senang. Aku dipaksanya tidak tidur selarut ini. Menemani perayaan malam lengkap dengan sepi dan dinginnya. Kali ini aku sungguh menikmati benar. Signal non lokal memancarkan suarnya kepadaku tentang dia yang sekarang sedang berjuang hidup. Berandai dalam fikirku bagaimana aku harus bersyukur dengan setiap tarikan-hempusan nafas ini, warna pelangi yang masih jelas dalam retina ini, lengan-kaki yang juga masih mampu kurasakan kuatnya. Rasa bahagia yang tanpa beban kuagungkan pada keadaan bahagia. Aku pula nyaris bernanah menikmati perasaanku sendiri. Kugulung tubuh ringkihku demi menghilangkan gigil yang menyesapi tulang. Gigil yang berarti sakit tak berperi prahara hidupmu. Sudah sepandankah rasa sakit ini, Kasih? Bukan kubermaksud memadamkan perasaan indahmu, Kasih. Segala rasa bahagiaku kemudian terkoyak dengan wajah sendumu. Wajah yang selalu melihatku dengan tulus. Aku harap aku tak salah menerjemahkan bahasa hatimu. Kuyakinkan itu sebagai sesuatu yang kekal kauberikan tanpa kau harus minta imbalan sebagaimana mestinya.
Bahagiaku menggerogoti separuh dari isi tubuhku. Kemudian sisa setengah. Kubiarkan dia tetap hidup dengan sisa usiaku. Namun tak kan kubiarkan sepi mengasapimu, yang artinya kau harus segera bahagia. Bukan hanya berbekalkan warna merah dan hijau yang selalu kaulihat saat awal membuka kelopakmu. Kuberikan warna merah jambu ini, yang katanya warna paling abadi sebutan banyak orang untuk sepasang kekasih. Bukan bunyi jam dinding di kamarmu itu yang seharusnya menemanimu, bukan pula pancaran lampu noen sebagai semangat untuk matamu.
Jangan kau panjangkan usia sepimu, Kasih. Jangan! Kabarkan padaku kau segera menemuiku dalam khayalan mimpi indahku saban malam. Ku harap. Ini salah satu cara menggenapkan bahagia denganmu.