Ruangan tempat
peraduan ke dua ku kembali mengabarkan dukanya. Kesedihan menganga menjadi
nuansa yang entah pada bagian mana harus senang. Aku dipaksanya tidak tidur
selarut ini. Menemani perayaan malam lengkap dengan sepi dan dinginnya. Kali
ini aku sungguh menikmati benar. Signal non lokal memancarkan suarnya kepadaku
tentang dia yang sekarang sedang berjuang hidup. Berandai dalam fikirku
bagaimana aku harus bersyukur dengan setiap tarikan-hempusan nafas ini, warna pelangi
yang masih jelas dalam retina ini, lengan-kaki yang juga masih mampu kurasakan
kuatnya. Rasa bahagia yang tanpa beban kuagungkan pada keadaan bahagia. Aku pula nyaris bernanah
menikmati perasaanku sendiri. Kugulung tubuh ringkihku demi menghilangkan gigil
yang menyesapi tulang. Gigil yang berarti sakit tak berperi prahara hidupmu. Sudah sepandankah rasa
sakit ini, Kasih? Bukan kubermaksud memadamkan perasaan indahmu, Kasih. Segala
rasa bahagiaku kemudian terkoyak dengan wajah sendumu. Wajah yang selalu
melihatku dengan tulus. Aku harap aku tak salah menerjemahkan bahasa hatimu.
Kuyakinkan itu sebagai sesuatu yang kekal kauberikan tanpa kau harus minta
imbalan sebagaimana mestinya.
Bahagiaku
menggerogoti separuh dari isi tubuhku. Kemudian sisa setengah. Kubiarkan dia
tetap hidup dengan sisa usiaku. Namun tak kan kubiarkan sepi mengasapimu, yang
artinya kau harus segera bahagia. Bukan hanya berbekalkan warna merah dan hijau
yang selalu kaulihat saat awal membuka kelopakmu. Kuberikan warna merah jambu
ini, yang katanya warna paling abadi sebutan banyak orang untuk sepasang
kekasih. Bukan bunyi jam dinding di kamarmu itu yang seharusnya menemanimu,
bukan pula pancaran lampu noen sebagai semangat untuk matamu.
Jangan kau
panjangkan usia sepimu, Kasih. Jangan! Kabarkan padaku kau segera menemuiku
dalam khayalan mimpi indahku saban malam. Ku harap. Ini salah satu cara
menggenapkan bahagia denganmu.