Minggu, 29 Juni 2014

Keyakinan yang Telah Saya Janjikan pada Diri Sendiri



 
Sejatinya pada setiap insan milik Ilahi-kita-memiliki sebentuk hati nurani yang benar putihnya. Kenapa saya yakini demikian? Karena Allah itu ada. Bahkan pada mereka yang secara kasat mata pun hati-jahat. Menurut saya. Tak ada yang dipermasalahkan pada keadaan kita yang sedang benar baik adanya. Baik yang menurut saya-ya, kita bisa lah mana yang harus dipilah dan dipilih dengan pelan juga pasti-tapi, bagaimana jika ada suatu keadaan buruk sedang memelukmu bagai duri? Keadaan dimana hati kita bagai rawa-belukar? Hati yang kerontang? Bukan salah keadaannya. Tapi kita sendiri! Tetaplah kembalikan buruknya dalam diri masing insang. Seperti ketika kita begitu mahfum tentang baik yang kita tanam, dan secara alamiah akan kita tuai baiknya pula. Lantas jika buruk, tak mau kah kalian menerimanya?
Baiklah, begini. Seperti kisah Nabi Yunus As. Kita pedoman saja pada kisah itu. Dimana saat beliau sedang dalam keadaan sekarat berada pada perut ikan. Tak sekalipun beliau menyalahkan keadaan. Salah pada dirinya sendirilah yang telah meninggalkan kaumnya. Introspeksi diri ialah kunci, sedang kekuasaan Tuhannya yang menjadi gembok sejati.
Sama seperti saya yang-setiap masih bernafas dalam udara milikNya ini, helaan nafas yang akan selalu saya nikmati memenuhi rongga hidung, kemudian saya lepaskan yang tidak lain artinya untuk tetep berhamba padaNya-masih terus belajar tentang perkara memaknai hidup di semesta raya ini.
Masih dalam kenang, ketika saya berada pada satu sisi keadaan yang tak pernah saya inginkan. Mungkin bisa dikatakan keadaan tidak baik. Itu saja frasenya. Sekuat keyakinan yang telah saya janjikan; "saya tidak boleh menyalahkan tadir, saya tidak boleh menyalahkan keadaan, apalagi saya menyalahkan Tuhan yang dengan kasihNya memberi nikmat sedemikian banyaknya ini, tidak boleh!".

Kamu! (lagi)



Bukankah setia itu pekerjaan yang melelahkan? Memenjarakan segala kesakitan.  

Namun bilamana seseorang yang kita perjuangkan malah memunggungi kita? Bagaimana?

Tak baik memang, menuliskan hal buruk dalam halaman ini. Tante, kamu dan ponakan(ku).


Musim di wajahku kembali basah.

Semoga Allah memaafkanku.

Ramadhan Mubarok

Demi segala nikmat yang telah kuperoleh, saya bersyukur. Dengan sujud paling suci kuraih kebahagiaan di awal bulan penuh berkah. Awal yang baik untuk memulai bulan ini. Aku menemukan kenangan masa kecilku. Memilah kenangan tak ubahku mengembara ke masa dulu. Dan yang jelas, segala kenang yang baik pun buruk selalu indah untuk di-skenario-kan, di-drama-kan (kembali). Tentu dengan perasaan nano-nano. Hitungan hari telah sampai pada mistar dengan barisan hari penuh berkahMu. Berkah yang selalu kuyakini turun bersama dengan lahirnya kehangatan-kehangatan ciptaanMu.
Bermula di jalan setapak depan rumahku kala adzan isya berkumandang, aku keluar dari sisi samping tempat peraduan kedamaianku. Panggilan lembut menyentuh sensor pendengaranku. Reflek kutengok ke belakang. Mereka mendekat dan tanpa aba-aba kujejerkan tubuhku pada mereka, melangkah senada, menuju arah barat tempat tujuan kami. "Fa-biayyi alaa'i Rabbi kuma tukadzdzi ban". Sungguh nikmat yang kau beri memang selalu tanpa aba-aba, tanpa menunggu hambaMu tersungkur dalam keadaan yang entah. Dan takdir. Kau menjaga ketidakjelasan ini pada umatMu, tak lebih untuk menjaga umatMu tetap memelihara doa-doa mereka, lantas mengijabahi kemudian. Mereka teman masa kecilku. Teman yang hampir separuh umurku mengenalku dengan baik, dan sebaliknya. Kami bahkan seperti saudara. Dan bukahkan benar, setiap umat adalah saudara se-Adam-Hawa? Benar!
Klise sekali jika aku harus menyusun kata-kata yang tak lebih berisi tentang kenangan masa lalu. Mereka tetap saudaraku, meski umur masing-masing dari kita memang tak sama. Kita terpaut 2 tahun-2 tahun. Dan akulah yang paling kecil diantara mereka. Aku sengaja menyembunyikan mereka pada rangkaian abjad kali ini. Cukuplah mereka tinggal baik di dalam fikiranku. Menjaga jiwa mereka dalam jiwaku dalam riwayat yang baik. Dan aku tetap setia menjadi penjaga pintu paling sejati untuk jiwaku sendiri. Kucukupkan Tuhanku saja yang menemani diriku.

Pamotan, 30 Juni 2014

Rabu, 25 Juni 2014

Bening Air Mataku, Setabah Mungkin Mencintai KAU



Tuhan.. aku masih begitu sampah di hadapanMu
Kutegakkan rusuk-rusuk kesedihan sekuat yang aku bisa,
kubalut seda-sedu tangisan dengan hanya mengingat Kau
rentetan hari demi hari membawa hamba pada ranjau tek berperi
Bahkan menatap pelangi pun masih enggan kuciptakan senyum paling sabit pada wajah ini

Bukan bermaksud menggarami luka sendiri,
tapi beginilah caraku bercengkerama denganMu
Tuhanku..

Bukankah jalanku masih panjang?
Demi terus menyaksikan suka – ria, duka – cita pertunjukan dunia
Dan yang kutahu, kebaikan pun keburukan punya wadahnya sendiri
Berharap aku tak buta, aku tak tuli, aku tak lumpuh
untuk mengangkat keranjang kebaikanku

Di tengah ribuan bintang dalam semesta raya ini,
ijinkan aku mengetuk pintu langit
Untuk  semua harapan, doa dan keinginan
Melangitkan mereka pada keheningan malam
Karena yang aku tahu, malam adalah saat dimana Tuhan
Sedang bekerja bagi rengekan-rengekan manja seperti aku

Buih-buih kebaikan kucoba kumpulkan pada setiap keadaan
Memungut tawa yang telah ditinggalkan dari orang sebelum aku
Pada kejadian mengikhlaskan, misalnya.
Berharap Sang Penguasa berbaik hati pada segala usaha
yang selalu aku lakukan untuk tetap bernafas
pada terpaan akhir zaman seperti sekarang. 

Tuban, 20 Juni 2014

Sabtu, 14 Juni 2014

Kenangan Itu Tak Pernah Pikun


Jum'at barokah.



Lama sekali aku tak berkunjung di rumah mayaku ini. Aku selalu menyakinkan diri untuk tetap tinggal di sini, walau hanya sekedar merangkai kata tak jelas makna yang siapapun pasti enggan membacanya. Belakangan, aku merepotkan diri mengurus ini-itu perihal dunia nyataku. Teramat lama untuk aku menjamah blogku ini, seakan tak pernah kutemukan inspirasi. Tumpul. Kosong. Tak berisi.

Tapi akhirnya aku memaksa otakku berfikir dua kali lipat lebih keras untuk menulis tentang apa yang baru aku alami sepagi tadi.

Akhir pekan ini aku pulang kampung. Ibu belum sembuh benar dari sakitnya. Masih perlu banyak istirahat demi memulihkan kesehatannya. Dan aku yang beralih menggantikan pekerjaan rumah.

Sudah pukul 8 pagi waktu daerahku sendiri. Aku masih khusyuk membaca novel dari pengarang idolaku; Anggun Prameswari. Di depan kudengar sayup-sayup bapak sedang berbincang dengan seseorang. Kutengok dari tirai ruang tamu. Hanya terlihat punggung dua pria. Teman masa kecil, teman lama, teman yang sekarang merantau di jauh sana, teman yang bisa dikatakan saudara. Begitu banyaknya definisi tentang dia; Mas Adam. Kemudian aku mulai menciptakan skenario tak jelasku. Kebiasaan buruk. Kapan dia datang? Bagaimana kabarnya? Sudah setinggi apa badannya sekarang? Dia yang dulu begitu manja, apa sekarang masih demikian adanya? Cerita menarik apa yang akan dia bagi? Ah terlalu banyak skenario pertanyaan.

Seriusan, aku tak berani mendekat atau sekedar menyapa. Bukan apa-apa, hanya karena alasan klasik yaitu aku belum mandi, haha.

Beberapa menit berlalu, suara bapak memecah keheningan. Bapak masuk ruang keluarga, bersama Mas Adam yang mengekor di belakangnya. Tiga detik pertama aku membisu, detik berikutnya Let's, mari bertukar sapa! Kemudian kami menghambur di ruang keluarga, bersama ibu pula. Saling membuka kenangan. Teringat aku akan sekotak masa kecilku. Masa di mana tak ada sekat diantara aku dan temanku. Penuh dengar keceriaan tanpa beban. Kotak kenangan dibuka, tak ada yang menua di sana. Di permukaan atas terlihat kenangan paling baru, paling gampang untuk diingat. Tentang masa putih abu-abu beberapa tahun lalu. Mas Adam menyodorkan banyak tanya kepadaku tentang siapa-siapa yang memiliki kabar paling menarik. Haha, bukan kepo tapi itu bentuk perhatian untuk teman-temannya sih. Dia masih sama, raut wajah dan suara manja khas Adam Fansuri. Benakku sendiri menyelam lebih dalam pada kotak kenangan masa kecil. Tentang permainan petak umpet yang selalu membuat aku paling takut untuk masuk pada permainan itu, entah oleh alasan apa hingga aku tak begitu menyukai permainan itu. Tentang mancing di musin bulan puasa demi mengisi kegiatan harian daripada harus tidur terus. Mandi di sungai bebaur dengan cewek-cowok tanpa kenal malu. Ah, memalukan!

Sebersit kenangan masa kecil yaang selalu tinggal dalam kepala kita.