Selasa, 28 Januari 2014

KATA INDAH INI, DARIMU, SAYANG.


Dear you, di cinta..

aku berhenti membacamu. Bukan soal kata ganti orang pertama atau kedua,

yang kucari adalah subjek abjad cinta yang berfungsi sebagai kata kerja


Di kata cinta, 


aku ingin berhenti membacamu

Lalu, bertanya, bagaimana menulis kata cinta? 
aku hanya mampu mengeja hurufnya,
selebihnya adalah rasa yang diam dari kedalamannya





 – Sajak indah ini, kiriman dari kekasih tercinta – 
 

Bukankah Ikhlas dan Sabar itu Sebaik-baiknya Rasa?

 
Pagi selalu punya cara sendiri demi membagi hangatnya matahari kepada tubuh-tubuh insan Ilahi.
Kemudian kegundahan yang tak pernah luput dari akal dan rasa kita, memaksa kita biasanya untuk menyalahkan keadaan, melempar segala tanya kepada Empunya hidup, klimaks terakhirnya sensor ego dalam diri yang tak bisa terkendali dengan baik.
Kedukaan tentang hidup masing-masing yang seakan membumi-leyapkan rasa bahagia. Rentetan ujian bagai aral melintang yang memaksa tuk kita lewati.
Tanpa tahu, bawasanya nikmat dan kuasa dari sang Mahakuasa selalu kuat melingkupi kita. Saya rasa kita selalu mahfum dengan kata ikhlas dan syukur. Tapi, jelasnya tanpa tahu dua kata itu kapan tepat untuk digunakan. Bukan kapan lagi, harusnya jangan membiarkan keikhlasan tanggal selama jasad masih melekat pada tubuh. Sejatinya ikhlas selalu membawa kita pada peranan lurus hidup. Tuhanmu, Tuhanku dan Tuhan kita terus berbaik menebarkan segala indah pada dunia yang fana ini. Bagaimana sebaik-baiknya dari kita mampu memberai perihal yang membawa keselamatan pada dunia pun kehidupan lain atau malah memburukkan segalanya. Pada inilah intisari keimanan kita berperan. Tentang keikhlasan yg sudah saya singgung sedikit di atas. Pula masalah sabar. Orang yg pandai bersabar juga ikhlas adalah doa-doa yg melangit. Itulah sebait kata dari seorang Ukhty cantik di jauh sana. Lantas bukan berarti pula kita harus memasrahkan diri. Memaku tanpa tindakan nyata. Utamanya, selamatkan jiwa untuk jadi pemenang pada diri sendiri.
 

Sejumlah pertanyaan yang tak sanggup kujawab

"Sudahlah urusan ini belum akan tertuntaskan meski hari telah berpindah ke hari lain, Sayang".
Begitu aku berkata pada teman hidupku yang sedari malam tadi-entah ada angin apa ingin membahas tentang sesuatu yang bernama bayangan-menginginkanku menemani topik yang ingin dia buka segalanya. Sekarang sudah hampir pukul dua belas malam. Aku sangat tau, dia hari ini-yang meski hari Minggu tetap sibuk-terlampau lelah demi setubuh dia yang tak inginkan mengambil istirahat dan beranjak pada kegalauan hatinya.

Kami berinteraksi via BBM. Mungkin aku bisa kasih judul; komunikasi jarah jauh. Iya, saya yang sedang di perantauan dan dia yang berada di rumah menunggu saya dengan segala kesetiaan yang aku yakinkan pada diri sendiri bahwa dia memang setia. Meyakinkan diri seteguh rasa percayaku pada dia. Setia. Bukankah itu memang suatu pekerjaan tanpa syarat untuk sebuah hubungan yang terangkai hampir lima tahun? Oke kita lanjut!

Aku hanya tak habis fikir, akhir-akhir ini kekasihku sering bertanya tentang macam-macam sesuatu yang mungkin mesin mengolah dataku tak sanggup mengurai jawabannya saat itu juga sedetil yang dia inginkan. Pertanyaan-pertanyaan yang-mungkin lagi-menitikberatkan hal yang belum jelas muaranya. Seperti yang aku kutip di atas tentang suatu 'bayangan'. Dan kalian bisa membayangkan apa yang terjadi selanjutnya? Sederhana, aku kehabisan peluru untuk memutar-balikkan semua pertanyaan dia. Alasan lain lagi, dia terlemparkan keras sekali dalam ketidakmengertian yang memangkas syaraf-syaraf kewarasan. Tapi saya juga yakin, dia memiliki alasan yang kuat atas kegilaan dia malam ini. Kemudian saya hanya bisa berucap "segala pertanyaanmu akan terjawab pada waktu. Sabarlah, waktu tak akan berhenti seketika ini hanya karena tak mampu menjawab sejagad tanyamu" itu pesan terakhir yang kuberikan padanya sebelum akhirnya tubuh kecilku dengan sisa tenaga, memintaku mengakhiri obrolan ini hampir pukul satu dini hari. Alasan khususnya; saya ingin adil pada tubuh untuk memberikan dia istirahat secukup waktuku.

***

Ingin rasanya memejamkan mata ketika tidur terasa kurang. Alarm pada ponselku berbunyi. Tak ada yang terlupa. Iya, semalam aku telah sett tepat pukul tiga untuk kembali memberi hajatan pada perutku demi menunaikan puasaku Senin ini. Lepas mengumpulkan nyawa, aku beranjak meninggalkan kasur. Dua roka'at Tahajud cukup mencipta sedikit semangat untuk makan. Kita lihat saja, takdir memiliki variasi klimaks untuk segala keadaan yang tanpa kita duga. Itulah mengapa Tuhanmu juga Tuhanku juga Tuhan kita yang menjaga ketidakjelasaanNya atas segala pengetahuan setinggi apapun kita untuk kemudian berkata "Oh jadi ini kenyataannya". Kalian pasti setuju!

Santap sahurku ditemani dengan tiga adik kosanku yang tak sengaja juga puasa untuk hari ini. Tak sengaja kedua; kita semua bermenukan mie instan. Oh Tuhan! Ini masih tanggal muda, kan? So? Memang tak ada hubungannya. Kita semua belum ada yang mencari uang sendiri. Hanya sebab menu makanan tak ada yang cocok kemudian pada opsi terakhir tertambat pada mie instan. Yang terpenting bukan menu, tapi kekuatan untuk sehari penuh itu. Ah, sudahlah lupakan!

Aku belum memakamkan ingatan pada masalah diskusi semalam tadi bersama-ya kalian tau lah-dia. Aku hanya berharap, untuk dia agar tidak terlalu terbanyang pada satu banyangan yang kataku masih abu-abu tanpa jelas itu. Hampir pukul lima pagi. Menyadarkanku untuk kembali menyanyangi tubuhku. Hari ini tak ada kuliah.

Tuban, 6 Oktober 2013

Apa kabar, Sahabat?



27 Oktober 2013.
Semoga kamu membacanya. Catatan ini aku buat untuk memenuhi urusan hatiku yang sulit mengurai segala bahasa yang hampir satu tahun aku rapikan dalam jiwa. Entah dari ruh bagian yang mendesakku untuk menulis ini. Aku berharap baik di ujung nanti.
Satu minggu yang lalu, ada notification dari twitter perihal kamu yang me-follow aku. Harus pada rasa yang bagaimana untuk kutampakkan; kebahagiaan karena kamu yang dengan diam masih memiliki rasa yang sama seperti dulu-menyayangiku. Ataukah api-api kekesalan yang pantas mewakilkan pada kejadian ini?
Tanpa fikir panjang, kamu sudah masuk pada barisan "following" ku. Memang, sudah lama sekali aku tahu tentang akun twittermu, tapi aku tak pernah berani sedikit pun berinteraksi denganmu. Hanya pada waktu yang tak pernah kupinta, fikirku berotasi tentang kamu. Berinteraksi satu arah. Telepatiku tak cukup pintar untuk menerka jejak fikirmu di sana. Apakah yang kurasa sama seperti yang kau rasa? Atau justru kau malah membelakangi semua tentangku. Entahlah.
Bukan hal yang sulit, jika pekerjaan memikirkanmu acapkali kumerasa tertusuk, duka dan antah brantah. Aku sering merasa kalah pada diri sendiri tersebab perbedaan kita yang tak dapat kubebaskan lantas memaku dalam kekaratan yang pilu. Logika yang sering kutemui di luar sana, bahwa perbedaan selalu menjadi pasangan yang tanpa syarat untuk sebuah kekurangan. Bahkan, aku pun sering memakai kekata itu kepada siapapun yang kiranya membutuhkan. Bodohnya diri yang tak bisa menyatu dengan kekata tersebut. Banyak sekali alasan klise mengapa kita sekarang tak lagi bergandeng tangan, tak lagi membentuk baris-baris senyum polos kita, dan iya kita tak lagi bersama.
Memang benar, egoku begitu batu jika kuharus berbicara tentangmu. Dan harus kau ingat, saat aku sudah mulai bersahabat dengan tulisan, kewarasanku jangan sekali-kali kau ragukan. Sampai pada titik kebahagiaan pun kekecewaan, aku tak pernah berdusta demi huhuf-huruf ini. Sini, cermatilah dengan sepenuh rasa!
Masa-masa dimana rasa yang tak pernah kurasakan dulu, kini sudah dapat kueja dengan sangat baik. Bagaimana kau berperan sebagai manusia yang multifungsi untuk diriku, menjadi teman kencan yang asik walau hanya berbincang ringan di warung Mie Ayam Bang Niam, menjadi kakak yang jelas peranannya; ngemong aku disaat yang tanpa kupinta kuberulah semisal anak kecil. Perihal kau melindungi diriku saat mabuk di perjalanan Semarang-Rembang.
"Mbak aku mabuk. Itu kena baju belakang kamu. Maaf ya?" Dengan pelan dan rasa takut aku mengucap demikian.
"Udah ga apa-apa. Sini aku bantu bersihin. Antimo ini minum dulu aja" sahutnya seraya membantu diriku membersihkan sisa muntahku.
Jelas nyatanya bukan?
Tak hanya itu, kita sering bercengkerama di kasur empukku hanya sekedar melewatkan obrolan basa-basi masalah sekolah. Yang selalu diselingi kamu dengan pengetahuan intelektual yang berada di tingkat atasku. Bahkan tak jarang, sering kupinta kamu menulis puisi-puisi indah kemudian kutagih lantas kualih menjadi milikku bertumpuk puisimu itu hanya karena aku suka karyamu.
Aku yakin, kamu orang pertama yang mengetahui rahasia gilaku masalah cowok yang pertama kali kukenal lantas kucinta. Berkali kusewa pendengaranmu hanya sekedar demi mendengarkan ocehan anak smp sepertiku. Kuharap kamu tak bosan ketika itu, Mbak. Dan masih banyak rasa indah yang kita cipta dulu, bukan?
Tentang segala kenang, aku tak peduli apa kamu masih dengan sudi mengingatnya atau malah kamu tanggalkan begitu saja. Ini tentang aku, tentang tubuh yang masih sama seperti dulu; menyayangimu tanpa kurang, merindukanmu hingga tak berbatas. Lalu menangis sesal ketika bertumpuk pertanyaan dari banyak manusia yang bertanya hal kamu terhadapku. Tiap kali aku bertemu di jalan, kamu pun aku enggan sekali menyapa. Waktu benar-benar tak mau kalah untuk menertawakanku atas segala ketidakberanian demi sekedar berbicara padamu. 
 

Menulis seperti rindu

 
Raupan rindu kembali membuncak dalam sukma ini; kepada kau pemilik semua rasa. 

Hujan kembali membungkus malamku dengan dinginnya. Awan mendung sore tadi yang bergelantung, ternyata mulai merintikkan selapis gerimis tipisnya. 

Sayang, taukah? Ketika ku menulis ini, aku berasa waktu berhenti dengan jeda. Melemparkan jangkarnya, kemudian ku dapati diriku terlambat dalam ruang dan waktu yang membeku, lantas mengkristal. 

Mengingat perkenalan yang dulu. Menikmati setiap tinta yang ku toreh. 

Fikiran beradu, menyatu, mewujud aksara yang berbaris rapi serupa untaian yang entah apa namanya ini. 

Aku menitipkan ini kepadamu, sebentuk adamku. Ingatlah, bahwa setiap hujan yang turun adalah saat terbaik aku merindu pada dataran tinggi relung jiwa. 

Bagaimana tidak jika hanya serangkaian pesan singkatmu mampu membuncahkan dahsyatnya rasa bahagia. 

Rindu yang dulu terbuku dan belum sempat terurai kemarin, sekarang sudah dibebani dengan segunung rindu baru. 

Kini, perlahan ku cabut jangkar waktu tadi.
 

TENTANG KALIAN YANG MELENGKAPIKU

Entah bahasa yang bagaimana lagi yang harus aku ungkap dalam mengartikan sebuah kerinduan dengan keluarga besarku. Bapak, ibu dan adikku. Aku menulis keluarga besar lantas bukan berupa keluarga yang kata banyak orang berjumlah banyak. Tapi dari mereka aku memiliki banyak hal besar yang setiap waktu aku syukuri sebagai nikmat yang telah sang raja penguasa bumi beri untuk selalu ku jaga. Memiliki mereka merupakan takdir kehidupan terindah di hidupku. Ketika sedang dalam balutan kasih keluargaku ini, aku merasa semuanya begitu permata.
Dari bapak, aku belajar tentang kesederhanaan. Bagaimana beliau mengajarkanku arti sebuah kata sederhana yang setiap diucap beliau, batinku merasa direngkuh olehnya. Begitu hangat. Pernah satu waktu, beliau berucap "Ini yang kita punya, jangan suka iri terhadap segala apa pun di luar sana. Indahkan hatimu untuk tetap dalam keadaan syukur dan sederhana". Masya Allah, nyes masuk ke hatiku. Kemudian, beliau yang juga anti berbicara aib orang lain dalam keadaan ramai. Sekali masa, ibu yang tengah asyik bincang bersama teman karibnya. Ya, seorang ibu rumah tangga pula. Mereka sedang berbisik lembut membicarakan seseorang. Dengan ketegasan bapak, ibu langsung disuruh beranjak ke dalam. Keadaan berpihak pada bapak. Setelahnya ibu tak pernah mengulang seperti demikian lagi. Aku mencintai segala bentuk jiwa yang bapak punya.
Ini orang ke dua terindah di dunia ku. Iya, ibuku. Cinta ku pada bapak tak kalah hebat dengan cintaku untuk ibu. Cinta pada mereka memiliki takaran yang pas pada hatiku. Setiap aku pulang ke rumah setelah penat belajar di tanah rantau, ibu suka sekali mengajakku ke kamar tidurku. Tanpa kekata perintah, seolah aku mengerti bahasa tubuh ibu yang mungkin jikalau berbicara, berkata demikian "ayo ceritakan pada ibu sewaktu di sana". Dengan lancar semua cerita mengalir dalam suaraku sela rasa lelahku. Dan bisa selalu dipastikan tanpa dugaan, keesokan harinya ibu akan memasak makanan kesukaanku. Kata ibu "memasak itu juga termasuk belajar, bukan hanya belajar formal juga yang harus kamu dapat, Nak. Seindah apapun kamu kelak dipekerjaanmu, memasak itu hal wajib untuk suamiku". Itu pepatah yang selalu aku ikat dalam-dalam pada fikiranku. Dari sini aku selalu senang memasak, meski amatir.
Cerita terakhir yang tak boleh tertinggal pada tulisanku ini, adik perempuanku. Yang sekarang sudah berada di kelas 3 SMP. Dia sudah tak anak kecil lagi untuk sekedar mengerti arti hidupnya. Aku dan adikku memiliki sifat yang bisa dibilang bertolak belakang. Perihal di bawah ini bukan aku yang menyimpulkan, tapi berdasar pada kata orang-orang sekitar kami. Bahwa aku begitu lembut, pendiam dan tak banyak tingkah. Beda dengan adikku, dia cenderung tomboy, cuek dan batu. Batu maksudnya dia begitu keras, lebih batu dari aku. Iya begitulah anak-anak dari bapak ibukku. Satu hal yang selalu aku ingat, adikku tak pernah menangis dalam kesedihan. Entah apa yang menjadi sebabnya. Dia anak yang cukup tangguh demi menghadapi hidupnya. Itulah sedikit kisah warna keluargaku.
Sedikit munajatku, Bapak Ibu sehat terus ya! Sampai aku sukses nanti. Adik harus tetap menjadi adik yang kuat, terus belajar seolah selalu merasa kurang ilmu. Untuk Bapak Ibu, Dik.

Rembang, 2013. 

Sepotong Masa laluku


Tak pernah ada yang salah dengan sebuah masa, sekalipun menyakitkan pun mengindahkan.
1.    Aku pernah dicium anak lelaki sewaktu kelas 1 SD, kemudian aku menangis. Dan oleh sebab yang tak ku tau, dia suka kepadaku hingga kelas 2 SMP.
2.   Pernah sekali saat aku belajar bersepeda di jalanan, saya jatuh di sawah. Sepeda baruku yang berwarna biru kotor dan aku menangis.
3.   Semasa kecil dulu, aku sering sekali dipanggil dengan sebutan 'CAME'. "Came sudah mandi ya? Rambutnya bagus". Hanya karena aku sering potong selayak tokoh Jepang yang mungkin namanya CAME. Rambut lurus dengan poni tengah.
4.   Dibuat menangis oleh teman SD sekaligus tetangga sendiri karena tas saya yang mirip koper, dia tenteng keliling sekolah.
5.      Sempat nangis saat kerudung kesayanganku diambil oleh sahabat sendiri. Iya kerudung kesayangan.
6.   Sering merajuk dan menangis saat bapak memintaku mengaji tiap minggu pagi jam 6. Alhasil aku ketinggalan cartoon favoritku; Chibi Maruko Chan.
7.   Ini daya ingatku yang kuat sekali. Iya, aku yang tiap Rabu selalu bolos sekolah Madrasah karena gurunya yang galak. Bahkan aku masih ingat harinya. Hehe.
8.    Pernah menindas teman baru sewaktu kelas 2 SD. Aku berlagak menjadi ketua bersama satu genk ku bangga sekali. Konyol bukan?
9.   Aku mempunyai empat luka berbekas pada tubuhku. Luka pertama di siku kiri karena terjatuh dari tangga belakang rumah, aku menangis karena robeknya mengeluarkan banyak darah. Dan paginya aku tak ikut lomba gegara sakitnya minta ampun. Sembuh setelah tiga bulan kemudian. Penyebab luka kedua karena terjatuh saat naik sepeda pada hari Jumat siang. Persis saat dimulai Jumatan. Aku malah bermain-main tanpa ijin bapak ibuku. Luka itu tepat berada pada pergelangan tangan kanan. Manis sekali bentuknya. Luka ketiga dan terakhir sebab aku jatuh dari motor saat dibonceng teman. Di pelipis mataku dan di dengkul sebelah kanan lukanya. Masuk puskesmas, padahal paginya harus ujian. Oh!
10. Aku dibuat jatuh cinta pada lelaki yang setiap magrib saya temui di Masjid dekat rumah. Dan.. Dia berhasil aku pacari dan aku putus. Cinta pertama. Bandel sekali. Pft.
11. Sebegitu menyesalnya sewaktu kelas 6 SD ketika aku mau diajak pergi ke rumah bude, tapi aku malah asyik bermain dengan temanku. Menyesal sampai tak mau makan.
12. Pernah loncat dari tangga ke sepuluh di sekolah Madrasah akibat ajaran teman cewek.
13.Tidak naik kelas sekolah Madrasah akibat 3 bulan tak pernah masuk saat siku kiri luka. Semua keteteram dan aku tetap g diperbolehkan keluar sekolah oleh bapak.
14. Sempat mendengar suara aneh ketika dapat telfon dari kekasih. Itu pertama kalinya aku mendengar suara mistis.
15.Sengaja kabur dan bolos sekolah sewaktu SMA hanya karena ingin melihat lomba yang hari sebelumnya saya ikut tapi tidak lolos. Alhasil, paginya dijemur di lapangan basket, berjam-jam. Badung sekali, dulu.
16.SD dulu, aku sering ikut lomba sinopsis. Setiap sore latihan dengan merangkum 1 buku bacaan dengan sekali baca. Menulis kembali dalam 5 lembar buku folio. Coba sekarang, mesti males sekali.
17.Seingatku saat aku umur 7 tahun, aku pernah merengek menangis pada ibu dengan berkata "Ibu, Mas Tulus jahat. Setiap ketemu aku dia selalu menggendongku. Mengejar aku ketika aku berlari". Dengan pelan ibu mengatakan lembut "Nak, dia sayang sama kamu karena dia tak memiliki adik cewek". Sekecil itu, aku belum memahami antara sayangnya dan rasa takutku.
18. Surprice kecil, aku dibelikan sepasang pakaian oleh seseorang dengan bawahan rok, lengkap dengan kerudung. Dan harus saat itu juga dipakai dihadapannya. Kemudian, dia terperanjat melihatku dan berkata "kamu cantik". Bahagia sekali, pertama kali memiliki rok. Hehe.
19. Setiap tarwih, aku selalu ingin bertempat di tengah. Aku benci pinggir.
20. Seharian menangis gegara baru di putus lelaki. Kemudian adikku dengan lantang berkata "cewek kok cengeng, sini kasih nomornya biar aku marahin!". Adikku memang sekeras itu, tomboy.
21.Aku memiliki sahabat sedari kecil. Tapi sekarang tak kutemukan jejaknya. Karena suatu alasan. Sampai sekarang pun aku masih sering menangis karena kehilangan dia.
22. Di kosan ku yang petama, mbak-mbak kosan selalu bilang begini sama aku "Dek, ngomongnya pelan dikit ya pake spasi jangan kayak sepur". Pft sekali. Ini mah bawaan.
23. Aku sedikit lupa, ada teman BBM yang pernah bilang begini "Mbak, giginya lucu taring semua. Aku jadiin pacar ya?". Tidak masuk akal.
24.  Pernah iseng punya kenalan orang jauh. Berkat dia, hanya satu club sepak bola yang kutau detilnya hingga sekarang; Liverpool saja. Iya, satu.
25. Ada orang yang suka sekali merusak ponselnya tiap kali bertengkar denganku. Sampai sekarang, mungkin.
26. Lima atau tiga bulan yang lalu aku pernah jingkrak-jingkrak sendiri saat berhasil di mention idola penulisku.
27.  Karena seseorang aku masih menyukai Bon Jovi sampai saat ini.
28. Lebaran kemarin sewaktu pulang kampung, dan saat suatu siang aku bersepeda bersama kerabat kecilku. Tiba-tiba ia tertabrak motor dari belakang, aku kaget hampir nangis tak ketulungan. Tapi dia hanya diam dan kemudian pipis di celana. Tanpa luka sedikitpun.
Itu sedikit masaku yang tak luput ku lupakan. Sebenarnya masih begitu banyak lagi. Sekedar mengecheck sistem memori otakku.

Selayak Takdir Tak Kusangka


Aku menikmati saat seperti ini, bahkan ketika detik berlalu sekalipun aku sungguh tak bergeming dengan keadaanku sekarang. Duduk di dalam bus, menikmati kiri-kanan pemandangan agung dipadu dengan pantai sisi utara. Akhirnya aku menemukan fakta bagus-pekerjaan memeluk tas ransel dengan mata yang terjaga sebab aku merasa kantuk mengepung dalam mata akibat minum obat penahan mabuk yang tak luput ku minum-cukup membuatku nyaman. Pada baris nomor dua tak cukup silau untuk aku membaca sebaris kalimat yang terpukau menatapku pada kaca depan. "Waktu yang menjawab". Tepat di atasnya gambar seorang perempuan tersenyum. Getir getar tubuhku. Seindah ini rahasia Tuhan demi menguatkan aku. Bahkan dalam keadaan yang meyangkapun aku tak pernah.



Sepanjang jalan, Rembang-Tuban 
 

Anonymous #3


Edelweise
Dalam relung hatiku, kupanjatkan doa kepadaMu. Sebuah doa yang penuh harapan. Aku seorang wanita biasa, yang selalu menunggu cahaya dalam gelap, berharap dekapan yang kan melindungiku dari kerasnya hidup. Hari ini, tepat di hari ulang tahunku, aku memilihmu, meninggalkan semuanya, kebebasanku dulu, rasa senangku dulu, dan Adi. Hidupku kuserahkan kepadamu, seseorang yang sangat asing bagiku, seorang yang baru aku kenal. Seorang yang telah meluluhkan hatiku, bukan karena dia kaya, atau tampan, atau perhatian, cukup satu hal yang mewakili semua itu tatapan matanya. Saat dia melihatku, aku merasa tenang, sebuah rasa tanggung jawab yang sangat besar, sebuah masa depan. Aku sudah berjanji dalam hidupku, saat kutemukan seseorang yang aku cintai, saat terakhir itu pula aku serahkan seluruh hidupku.
Aku menemukannya, disaat aku dalam kebimbangan, mencari jati diri, mencari sebuah arti hidup. Dia datang kepadaku bersama sebuah kotak berwarna hitam berbalutkan pita putih. Kotak hitam berisi tiga harapan. Sebuah buku berwarna abu-abu, rangakaian bunga Edelweise dan selembar kertas. Dia bilang kepadaku, “buku ini, akan selalu menemanimu, akan ada lembaran baru disetiap lembarnya, membuatmu selalu optimis menatap hari esok dengan hal-hal yang lebih baik.” Dan “banyak bunga indah di luar sana, tapi aku memilih ini, kata orang bunga ini kuat dan mampu bertahan dalam kondisi yang sulit”. Lidah ini terasa kaku, tak mampu berbuat buat banyak, hanya tangis yang mewakili semua ini. Tangis ini semakin menjadi saat kubaca kertas darimu.

“Aku tidak mencintaimu, karena aku tidak tahu apa itu cinta”,
“Aku hanya mengikuti sebuah petunjuk yang aku temukan”,
“Sebuah bintang yang paling terang diantara semua bintang”,
“Aku fikir kamu sengaja menggantungkannya di langit”,
“Sekarang aku datang untuk mengembalikannya”.

Apakah ini tangis bahagia? Tak banyak kata saat kau melihat air mata ini. Kamu dekap aku, baru kali ini, aku merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Kamu itu siapa? Siapa yang mengirimu? Apakah kamu malaikat? Jutaan pertanyaan selalu tersirat jika ku melihatmu. Aku tak kuasa sayang, kamu benar-benar sudah masuk kedalam relung hati ini. Aku menemukanmu. Akan aku tuliskan lembaran hidupku, hidup kita, kepadamu Anonymous. Seseorang yang tak pernah aku kenal, sesorang yang sangat asing, Anonymous.

Anonymous #2


Tentang Cinta

Bergerak berlahan, mengikis setiap rasi yang ada, menghapus lukisan terindah di dunia. Awan hitam mulai menyapu setiap helai tanya yang kugantungkan dilangit malam itu. angin dingin mulai memeluk ku, mendekap tubuh ini. Aku masih tetap terdiam, memandang kosong setiap sudut tempat itu. mencoba merajut asa, dalam heningnya malam, mengingat setiap peristiwa yang telah kualami. Ya, seperti biasa, siang tadi dia datang menemuiku, dengan mobil hitam yang selalu dia banggakan, dengan setiap perhatian yang selalu dia berikan dan dengan setiap kesabaran yang telah dia tanamkan. Adi Pratama, seorang mahasiswa di sebuah perguruan swasta di kotaku, dia sosok yang selama ini menemaniku, dalam sepi hariku. Menjalin sebuah persahabatan yang saling melengkapi. Namun semua itu menjadi tak berarti, saat kau ucap kata cinta padaku. Aku tidak pernah tahu tentang apa yang aku rasa. Dia adalah salah satu dari puluhan lelaki yang selalu menghantui tiap langkahku dengan kata cinta. Mencoba mengisi apa yang kosong di hati ini. Dan semua yang mereka beri hanya untuk satu kata “Cinta”. Apa itu cinta? Aku tidak pernah tahu. Bagaimana mungkin aku bisa menjalin sebuah cinta, jika arti dari cinta itu aku sendiri tidak tahu. Berkali aku katakan pada mereka, aku belum siap menentukan pilihanku. Bukan karena aku munafik dan perfecsionis, tapi ini tentang hati, tentang aku. Aku belum siap.


Terkadang terbesit olehku, apa sih untungnya menjalin sebuah cinta? Bukankah itu menyakitkan? Aku memang belum pernah merasakannya, namun aku bisa melihat, banyak sahabatku menangis karena hal itu. menjadi ketakutan tersendiri dalam hidupku. Dan sekali lagi, angin, sampaikan maafku ke padanya, aku belum siap menerima cinta darinya. Mungkin ini kesekian kalinya aku meminta tolong padamu, untuk menyampaikan rasa yang sulit terucap oleh kata. Terima kasih angin malam…


Siang itu aku duduk beralaskan tanah bersandarkan pohon tua di depan rumah. Sudah satu jam aku diam di tempat itu, asyik dengan jutaan kata yang saat ini sedang aku baca. Konsentrasiku terpecah saat sebuah mobil hitam berhenti tepat di depanku. Sesosok adam, muncul, membawa sebuah bungkusan misterius dalam balutan plastic hitam. Duduk tepat disampingku, “Nih bakso, tadi waktu pulang kampus, keinget kamu, kamu pasti lagi kelaparan di pinggir jalan, eh tenyata bener” ucapnya tanpa dosa. Ya, Adi selalu datang menemaniku, tak ada yang berubah dari dia sejak kejadian hari itu. Aku hanya bisa tersenyum kepadanya, satu kata sangat sulit terucap dari bibirku. Ini kesekian kalinya, dia menggoyahkan hatiku. Apa ini cinta? Atau ini rasa kasian? Sulit mengartikannya. Hanya bisa menahan sesak dan air mata. Aku sangat sulit mengartikan rasa ini, bagiku ini sebuah bahasa yang sangat sulit, sangat berat untuk kumengerti dan mengartikannya. Aku berada diposisi yang melemahkanku. Aku mencoba menghindar tapi tak bisa. Akan aku berikan cintaku, seluruh raga dan hidupku pada seorang yang tepat, seorang yang akan menjadi lelaki terakhir dalam hidupku. Suatu saat nanti, bukan sekarang.

Anonymous #1

Anonymous

Sebuah sandiwara yang tercipta, bersama benci, cinta dan saling menguasai. Menyatukan cahaya dan kegelapan dalam lukisan langit malam. Hanya goresan tinta pada kertas usang ini yang menjadi cermin, dari aku, wanitamu. Sebuah memori berbicara tentang dua warna yang berbeda, hitam dan putih. Saling mengisi di sebuah buku berwarna abu-abu berpitakan rangkaian bunga edelweise yang telah mongering. Sebuah rangkaian bunga sederhana yang kau beri di saat pertama kita bertemu. Kau katakan padaku, “banyak bunga indah di luar sana, tapi aku memilih ini, kata orang bunga ini kuat dan mampu bertahan dalam kondisi yang sulit”. Dari sebuah rangkaian bunga itu, kisah ini aku tuliskan padamu, Anonymous...

Sebelum Luka

 
Sebelum luka,
Telah kupersiapkan segala perlumu
Perban, beradine, plester
Sebelum luka
 Indahkan jiwamu, damailah dengan kepala juga dada

Di kedua tempat itu segala sesuatu tercipta
Ya fikiran dan hati
Karena aku tau, hanya tabah dan sitiqomah
Dapat sembuhkan semuanya.
 

Menapak jalan dikeheningan

Wanita itu sendiri, kemudian berhenti duduk di bangku pojok taman kota. Segores lampu kuning memancar mengenai pada sebagian tubuhnya. Pada sisi lain, terkena gelapnya pohon cemara. Menghitam. Angin lembut berlomba menerpa anak rambut di keningnya. Seperti biasa, kamu menggunakan kaos oblong dan jeans selutut. Jeans favorit kesukaan kamu. Jeans yang sudah lama using digerus waktu. Bagaimana demikian? Sel ingat dalam otakku masih bekerja dengan baik. Sebab kau pernah cerita padaku bahwa jeans itu pemberian ayah, sewaktu kau duduk pada bangku SMA. Dewasa ini masih kau suka sekali mengenakannya tanpa alasan yang tak ku ketahui asal jejaknya.
Menerawang tanpa batas, berjalan liar mencoba menyapa sosokmu. Bayanganmu selalu enggan beranjak pada fikiranku ini. Berperang melupakan kamu itu sama halnya dengan berenang pada dalamnya samudera. Dan itu tak akan mungkin bisa. Mencoba bertahan dalam kehampaan jiwa menikmati sedemikian pula rasa sakit. Cobalah kau di sini, berdiri di depanku sekarang. Berperan menjadi orang asing dan aku akan menerjemahkan segenap bahasa matamu yang kemudian aku lantas berkata, aku sudah tak mencintamu.
Air mata ini, jeritan sakit ini dan semua tentang kamu akan segera kurapikan. Ku kemas dalam kotak hitam di hidupku. Kau yang telah berhasil menubrukkan hubungan ini pada sekuat tembok saat kita sedang berada dalam sebuah kaca. Aku, kamu dan kaca itu pecah. Terbentur ke bumi, kemudian rata bersamanya. Maaf, aku yang tak pernah pandai memberi apa yang kau minta. Terlalu muluk, kau meminta bulan padaku. Sedang aku bagai seorang yang tak mempunyai kaki untuk melangkah, bahkan terbang. Aku mencoba memberikan kesempatan pada adam lain. Carilah. Melepaskanmu pada kesempatan ini sudah sangat bijak. Ini sudah jalanku. Tuhan telah menggariskan untukku. Akupun akan tetep memberikan sesuatu yg intan untuk orang setelah kamu.

Entah kali keberapa, kau begitu berarti. Seseorang yang tak pernah ku tahu wujudnya.


Suatu suara menghenyakkan sadarku; bunyi ponsel pada meja belajar itu. Pukul empat subuh. Entah siapa yang mamasang alarm pada ponsel itu, mungkin adikku. Masih terlalu pagi untuk tubuh ini. Beberapa belakangan aku memang kurang istirahat.

Sejalan seketika, segala ingatan mulai berjejer dalam alam fikirku. Sepasang bola mataku tetiba memicing tajam. Ada suatu peristiwa sedari malam yang tak sempat ku sematkan kata selesai pada bagian akhir. Lekas ku buka ponselku yang lain yang ku letakkan dekat kepalaku. Banyak pesan masuk yang belum terbaca olehku, dengan sebab aku terlampau capek tadi malam, mungkin. Dalam berapa detik kulemparkan segala ingatku berada dalam pesan-pesan itu. Berimajinasi membacanya. Pesan dari dua orang yang kurasa begitu duri dalam tubuh. Menusuk, sakit kemudian berdarah.

Aku kehilangan kuat, air mataku pecah, Sayang. Begitu tawar, sedang penawarnya berada jauh di sana. Nafasku memburu satu-satu. Mencoba mencari sela udara baik yang tulus masuk dalam rongga hidup pun mulut. Sekali lagi, aku masih menyesali atas perbuatan yang aku lakukan. Aku mengutuk diri, bagaimana seorang perempuan bisa begini? Hatinya tak perempuan.

Mereka sepakat menyalahkanku pada satu titik. Lagi, tak ada tubuh yang tak membela tubuhnya. Aku kembali menyalahkan mereka pada kepalaku. Apa yang harus dibanggakan dari membuka aib seseorang? Aku mulai berseteru tentang siapa yang salah di sini, dan di sisi mana kebenaran berdiri. Terlalu sibuk memikirkan sedemian rupa, tapi dengan sepenuh sadar pun aku tau hanya dari salah satu kita diharuskan mengalah.

Sebelum Mati, Pesan buat Kekasih

 
kau menderas, selaju kaki hujan yang memasang dingin di tubuhnya
kau tanggalkan segala kenang selain kau, di kepalaku
di sebuah ruangan...

berwarna merah jambu-warna hatimu

aku bercakap dalam diri di dalam diriku
perihal kau,
perihal aku,
perihal cinta,
perihal perih,
tanpa perihal-perihal yang sudi menyebut kita-luka.



-- cuplikan puisi "sebelum mati, pesan buat kekasih"nya Faisal Oddang --

segala BURUK ini, bukan buruk yang SEBENARNYA. Aku tau.


Pukul 15:40 ponselku berbunyi. Ada dua pesan baru masuk. Pesan pertama dari teman kampus yang bisa langsung aku tebak; sms perihal lelaki idamannya. Pesan baru yang lain dari nomor yang sedetik itu juga mampu membuatku terperangan. Nomor tak asing yang membuatku berfikir asing, ada apa gerangan tetiba sms aku? Sedetik itu, waktu seakan berhenti. Tubuhku memaku bersama bumi. Mematung bergeming. Senada dengan itu, aku bersama adikku sedang begitu khusuk menonton film dalam tempat peraduan (baca: kamar). Dan lantas aku menyapu pandanganku dari layar laptop beralih pada layar ponselku. Ya, pesan kedua dari orang itu.

Orang yang sangat tak kuharap kehadirannya di kehidupanku. Sekian detik aku membaca pesan darinya. Pesan yang tidak singkat, sama seperti sesuatu yang dia bicarakan dalam pesannya. Rumit. Nafasku sesak, degup jantungpun mulai tak bertugas seperti selayaknya. Di pipiku mulai terlahir sungai kecil dari sela kelopak mataku. Seseorang wanita, yang sama sekali tak pernah terlihat oleh optik mataku bagaimana wajahnya. Seorang wanita yang sudah tiga bulan belakang ini mengganggu kestabilan sensor gilaku. Dia datang kembali. Bahkan aku yakin selama waktu yang tak kutentukan, dia akan terus berdiri tepat di belakangku. Berupa bayangan. Fikiranku mulai berotasi mencari ingatan tentangnya. Berdiri atas nama kebenaran, menurut dia. Tapi tidak menurutku. Seseorang yang datang dari masa gelap seseorang yang aku beri nama pasanganku. Saat menulis inipun, peluhku tak jua ingin kering. Air mata melaju deras melewati kedua pipiku, lantas jatuh tertambat pada bantal. Aku masih begitu sadar dalam kewarasanku, ya asik memikirkan wanita itu dan segala tingkahnya yang tak henti mengusik hidupku. Memang, aku masih kerap berdarah. Tulang-tulangku entah tinggal berapa yang tak patah. Aku mencoba memakamkan dia dalam ingatanku. Senyata itu juga, dia tak akan bisa pergi. Mungkin, yang ini aku harus berucap baik pada Tuhan yang telah memberi daya ingat terkuatku atas dia. Walau pada artinya, yang aku artikan sendiri bahwa ingatan ini buruk. Sekali lagi menurutku.


Tapi aku sudah berjanji dalam diriku, aku tak boleh lemah, ini ujian untuk kekuatanku. Yakinku, Tuhan pun tak akan pernah mengabaikan makhlukNya yang satu ini. Menengadahkan kepala, menatap langit kamar juga suara deru kipas angin. Aku masih selalu ingat kekata seorang teman SMPku; bahwa serapuh apapun wanita, Tuhan akan selalu memuliakanmu. Keburukan itu serupa kebaikan yang belum sampai pengertiannya, bukan? Yang terkasih juga selalu bilang, percayalah atas kekuatan sang maha cinta. Sibuk menyejajarkan iktikad, perihal lebih kuasa mana, cinta kita atau kata-kata usang wanita itu. Aku mulai memasukkan semangat-semangat terkuat dalam tubuhku. Memaksa semangat itu masuk memenuhi segala ruang, tanpa menyisa se-mili-pun ruang untuk rasa buruk ini.

Perihal Kita dan Tulisan-tulisan Ini


Tentang sederet aksara pemikiran yang mencoba menerobos daya ingatku. Mungkin kamu, sekarang yang menjadi seseorang terindah telah bertempat dalam separuh tubuh ini. Detak dalam detik di dalam tempat peraduan terindah dalam kamar, aku mulai merangkum. Pikiranku mulai mengingat scenario hidup bertahun silam. Ketika kita yang tak saling kenal, tak menyangka menemukan takdir hidup ini dalam suatu keindahan. Keindahan yang kita berdua rasakan sebagai panjatan syukur pada sang maha hidup yang telah menurunkan segala baik dalam tubuh makhluk-Nya ini. Saya masih ingat betul, kamu yang dulu tak sama dengan kamu yang sekarang. Saya masih heran atas kekata seseorang dengan bunyi “saya masih seperti yang dulu”. Sering berfikir, mereka yang mencipta kalimat lugas itu apa tak bisa membayangkan? Bahwa sesungguhnya-seperti yang dulu-itu tak benar baik didengar maupun diucapkan. Semoga kalian yang membaca ini sepakat denganku.  Sekarang aku menemukanmu jauh sangat baik dari dulu kita awal bertemu. Bertemu dalam sebuah arti pendekatan. Kamu mampu membentuk hidupku menjadi hidup. Pun hidupmu, tentunya. 



Sebenarnya saya sedikit merasa terperangah, takut jika sebait pujian di atas dapat melahirkan suatu ujian untuk kita dan terutama bagi diri kamu sendiri, Sayang. Kamu tau tidak? Kadang dari mata kita bisa melihat segalanya. Selama bertahun ini, aku sering meraba menemukan banyak mata berkunjung pada hubungan kita. Betapa merasa bahagia ketika melihat mereka meng-amin-i aku dan kamu. Doa terindah juga terbaik selalu aku panjatkan kepada Tuhan kita supaya pada bejana waktu terbaik kita akan menjadi sesuatu yang disatukan dalam manunggal jiwa yang lebih agung.

YANG FANA ADALAH WAKTU




Yang fana adalah waktu
Kita abadi; memungut detik demi detik, merangkai seperti bunga
Sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa

"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamu

Kita abadi.



SAPARDI DJOKO DAMONO

HATIKU SELEMBAR DAUN


Hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;

Nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senatiasa luput;
sesaat adalah abadi sebelum kusapu tamanmu setiap pagi.




SAPARDI DJOKO DAMONO

Nikmat Idul Adha

Selamat berbahagia, dan selamat menikmati Hari Raya..
Sepertinya aku sungguh tak ingin melewatkan setiap apapun yang kurasa dengan torehan tinta hitamku. Tanpa kecuali untuk nikmat hari ini. Takdir memang tak pernah lepas dari dugaan insan Ilahi. Takdir yang kumiliki bukan sebab aku mimpi bahagia malam lalu. Bahkan aku lupa, apa aku semalam benar mimpi indah? Ah itu bukan hal utamanya.
Pagi sekali aku mengantar adik satu-satunya dalam rumahku berangkat sekolah. Dengan segenap kuat dan sisa kantuk akibat begadang, aku beranjak mandi. Hatiku masih dingin. Perpaduan yang menarik untuk air yang juga tak kalah dingin pagi ini. Coba meneriaki tubuhku dengan diam dalam hati. Parahnya lagi, hawa dingin tak kunjung hilang, mereka bersatu menembus tulang-tulang tubuhku. Menjalarkan pada seluruh syaraf dan otot. Aku nyaris beku. Sigap, kuantar adikku dengan motor matic-ku. Dan.. Kalian tau? Jalan depan rumah begitu ramai dipenuhi lalu-lalang orang yang hendak ke masjid. Memang, karena rumahku yang hanya berdua puluh meter jaraknya dengan masjid besar.
***
Terburu sekali aku ke masjid karena memang terlampau siang. Aku memang ada sedikit masalah dengan yang namanya pagi. Iya, belum bisa bangun sepagi selayaknya orang-orang. Dari arah timur, aku melihat sesosok perempuan setengah baya sedang berjalan sendiri. Aku tak cukup kabur untuk gambaran di depanku. Dia temanku, teman masa kecil. Pasti, dia hendak ke masjid pula. Selesai memarkir motor dengan apik pada rumah belakang, kusambar mukena juga sajadah di kamarku. Tak luput juga untuk beberapa rupiah yang telah disediakan ibu. Bapak sudah berangkat, Ibu tak ikut sholat. Dan aku, kali ini, kali pertama ke masjid seorang diri. That's no problem. Di sudut jalan rumah, kudapati adamku sedang berdiri, tak bergeming. Sedetik aku kaget. Kulempar pandang pada dia, mata kami bertemu, juga sebaris bibir yang membentuk senyum. Riang sekali aku memandangmu. Kembali kuberjalan menuju pelataran masjid. Menjeja langkah dengan para muslim lainya. Tak ada altar di sana. Benakku mulai menerka-nyata. Dengan yakin, aku berbicara pada diriku sendiri. Dia tak mungkin di sudut jalan itu jika alasannya tak ingin bertemu aku. Subhanallah, mataku mulai berkaca-kaca. Peristiwa semalam nyaris membuat kami nelangsa. Saat dimana kita pada puncak rindu namun tak dapat bertemu. Pagi ini, dalam saksi alunan takbir, kami bertemu. Bagaimana mungkin aku mendustakan nikmatMu (lagi)?
Ketika aku menggelar sajadah, aku menemukan nikmat lagi. Kalian pasti tidak lupa kan, tentang seorang perempuan yang sempat aku singgung di atas? Dia temanku, tak sengaja aku mendapatinya tepat berada di sof depanku. Bagaimana pula aku tak mengenali wajah seteduh dia, bila hampir dua puluh tahun kita berteman tanpa jeda? Memang setelah kita sama-sama beranjak dewasa, kedekatan mulai renggang, tali persahabatan sudah terbukti lusuh nan usang. Tapi aku yakin-aku harap kamu juga demikian-kebatinan kita sedang berkeras dekat. Aku menangkapnya dari sebait tutur yang kamu ucap padaku saat itu. Ada ketulusan bersinergi dengan suaramu. Masih pada lantunan takbir, saksi hidupku bertugas. Pelan kupejamkan mata, membiarkan segenap hati mengurai nikmat ini. Sungguh Allah, segalanya tiada tara.

Separuh Rasa yang Tak Sama

 
Seketika waktu milikku. Hari ini selepas membuka mata dan mengedipkan untuk kali awal, aku mendapati relung kalbuku yang berwarna abu-abu. Tidak hitam pula tak putih. Bagian warna ini yang tak kusuka. Fikirku, warna ini bersifat separuh dan aku tak menyukainya.
Tentang suatu kebagiaanku. Satu keadaan yang datang tak lama ini. Iya, aku nyaris mencapai klimaks terbaik dari rasa bahagiaku selama ini. Mungkin jika perlu menggunakan pengandaian, istilah ini cukup pas. Mungkin. "Bagai mendapat segunung harta emas". Yang jelas aku begitu bahagia. Sebahagia-apapun. Saat ini.
Ini sisi lain dari tubuhku. Pada detik kemudian, rasa indah yang begitu membahagiakan tersebut berubah rasa menjadi duka. Tepatnya, aku memiliki separuh rasa yang tak sama dalam satu waktu. Rasa yang satu tingkat di bawah rasa bahagia. Kehangatan seakan mulai membelakangiku, menerpanya lantas berganti pada suatu kedinginan yang menusuk.
Ketahuilah, Kawan. Aku yakin, disetiap bahagia yang kita punya akan terselip duka. Walau sekecil atom. Pun sebaliknya. Semesta tak ada yang bisa memungkiri. Terkadang, aku begitu suka merapal peribahasa kuno Cina. YING DAN YANG.

Malam Baik-Mu


Nyatalah malam ini. Malam dimana – yang kata orang – tertumpuk kebaikan.



Malam yang selalu punya cara tersendiri menyentuh kalbuku.  

Seolah, para malaikat hadir dalam setiap jengkal langkahku. Pada tarikan pun hempus nafas dinginku.



Selalu riang menyambutnya. Selayak ketika kutanya pada ukhti yang jauh di sana, yang untuk kita saling mengingatkan "sudahkah kamu bermunajat hari ini?"



Tak luput ku cakupkan rapal paling hening saat tudung melekat pada tubuh. 

Kusematkan doa pada ayat-ayatMu untuk para tetuaku yg sudah dulu menungguku dalam alam lain.



Satu asaku, semoga ganjaran ini selalu penuh untuk kubawa ke Mahsyar nanti. Aamiin.

Minggu, 26 Januari 2014

Ilmu kita, ilmu hidup juga, bukan?



"Berapa banyak malam yg kau lewati dengan menelaah ilmu pengetahuan, membaca buku atau berdiskusi, dan kamu selalu berusaha terjaga? Atau tidak tahu apa yang memotivasimu untuk bangkit" cuplikan pada bukunya Imam Al-Ghazali yang berjudul 14 jalan mencintai Allah.

***

Seketika aku melarung berbagai hal yang menyapaku pada berpekan ini. Masih ingat betul bagaimana aku menghabiskan tiga-empat jamku dalam satu hari untuk bercengkerama dengan sedikit buku-bukuku dan berbagai tulisan dalam dunia maya. Tak ketinggalan juga dengan tombol-tombol canggih hasil modernisasi zaman, bukan lagi pena memang.

Mendapati banyak ilmu dalam setiap indra mataku. Dengan sedikit polesan hiperbolik sudah cukup membuat diri ini senang. Senang menikmati karya sendiri. Cukup pecundang bukan tanpa membandingkan dengan yang lain?

Tak hanya itu, niat awal mencari ilmu sebenarnya lebih kearah ingin mendapat penghormatan, penghargaan dan tak jarang pencitraan diri. Pada mata kasarku, banyak bertebaran mereka yang mungkin pintar dari yang lain, yang selalu berbangga diri ketika mendapat IP paling baik. Menyunggingkan senyum, lantas mendongak tanpa sapa, kemudian melenggang sebab bangga terhadap pencapaiannya.

Aku ingin bertanya, apa semua pencapaian tersebut bisa bersifat mutlak?

Yang ingin aku kutip, sebenarnya tak ada yang salah jika kita mampu memberikan reward pada diri sendiri atas secuil ilmu dan pengamalannya. Bukankah pada hakikatnya, segala ilmu itu harus diamalkan jika ingin mendapat berkah-Nya? Daripada yang menimbun ilmu tanpa mengaplikasikan pada kawan-kawan lain yang butuh? Sejatinya, ilmu yang bermanfaat ialah ilmu yang berbanding lurus dengan pengamalan sepadan ilmu tersebut.

Di sinipun, aku masih seperti manusia bodoh. Berbagai ilmu yang kumiliki, belum sepenuhnya bisa aku terapkan pada kehidupanku. Hanya mampu memohon kepada Tuhan semesta raya agar segala pandang burukku segera diluruskan. Aku percaya pada dahsyatnya kekuatan doa ketika kening dan sajadah sudah mulai menyatu malam ini. Juga berbagai lantunan ayat.

***

"Meski selama seratus tahun kamu duduk membaca beribu judul buku, namun bila kandungan ilmu tidak kamu amalkan, tentu itu tidak mengantarkanmu kepada kebahagiaan dan rahmat Ilahi". Imam Al-Ghazali~