Jumat, 25 November 2016

Mencintaimu, melukaiku


Sakit hati oleh diri sendiri jauh lebih pedih rasanya ketimbang disakiti oleh orang lain. Berharap yang bukan pada tempatnya pun bukan sesuatu yang harus terus disemaikan.  Begini, aku benar mencintaimu. Itu tak salah. Aku menjemput cinta itu dengan keadaan baik sekali, sadar penuh bahwa kau yang kuharapkan.  Tapi sungguh memang kau tak pernah berjanji apa-apa semisal menua bersama. Namun entah, aku bahagia. Pragmatis, lagi-lagi. Sedang kata paling tepat menggambarkan sumber sihir yang terletak pada dirimu ialah 'sederhanamu'.
Bahkan sering disatu keadaan pernah, kita miliki malam yang sama-sama libur. Itu berarti aku pun kamu, tanpa jeda berbondong cerita tentang ini-itu milik hidup kita. Bagaimana masa kecilmu dulu yang epic. Mengembala sembari belajar, tak luput selalu juara kelas atas gigihnya tingkat belajarmu yg bisa memakan semalam suntuk. Masa-masa bermain yang menyegarkan senyuman. Kemudian lagi berbaktinya kamu kepada kedua malaikat kehidupan yang memberimu nafas hingga sampai detik ini. Masa kecil milikmu yang persis sempurna tergambar pada buku dongengku. Cintaku selalu jatuh lebih banyak pada setiap hal kecil, serupa zarah sekalipun. Dan aku yakin kesederhanaan yang membahagiakan demikian adanya tak berhenti hanya pada titik kanakmu saja. 
Fikirku, dunia begitu indah saat bersamamu. Kamu mampu mengubahnya dengan cara yang tak kuketahui. Insan Tuhan selayak kamu tak banyak kutemukan dihidupku. Dirimu yang satu, dirimulah yang selalu menyebarkan serbuk kebahagiaan pada siapa saja yang didekatmu. Kamu dicintai banyak orang. Aku riuh diantaranya.
Tak apa jika mungkin diri ini yang hanya mencintaimu, mencintai hanya pada satu arah. Tak terbalaskan. Lantas berbinar dengan sejuta kembang rayuan memabukkan yang sehilir dengan hampa. Aku yang memaknainya.
Aku menjelma menjadi perempuan yang antah berantah, bahkan sekadar membedaki wajah saja tak sanggup kulampaui. Aku mencoba memperbaiki yang rusak di sana. Pikiran tetaplah pikiran. Sejuntai apapun kekata yang coba kurangkai sempurna, aku tetaplah manusia. Manusia yang tak luput dari salah pun khilaf. Manusia yang tak pernah lulus dari ujian Tuhannya. Dan tetap kuyakini bahwa segala yang berat ini-menurutku-ialah cara Tuhan mengatakan bahwa Tuhan begitu mencintaiku, Tuhan begitu memperdulikanku.
Pengharapan-pengharapkan mulai kususun rapi untuk kuberikan satu hanya pada Tuhan, bukan makhluknya.
Patah sekali rasanya ketika melihatmu dengan wanita lain. Namun rasa sayang yang sakit ini begitu malas angkat kaki dari tubuhku. Aku tak mampu dan tak ada waktu untuk membencimu.