Jumat, 05 Februari 2016

Sementara saja, di sini



Detik yang akan datang selalu menjadi rahasia waktu. Sebaik-baiknya kita ialah yang mampu mengambil semua keputusan dengan baik pula. Membiarkan waktu pada detik berikutnya kawin dengan diri kita dan hidup kita. Kita tak lebih dari kumpulan perjalanan, bukan? Perjalanan mencari abadinya syurga yang dijanjikan Sang Maha Kuasa melalui semesta ini.

Ah, tak dapat terbayang jika detik berikutnya itu, saya selesai. Perjalanan saya telah rampung. Meninggalkan apa-apa. Mengembalikan titipan pada Illahi Robbi, termasuk jiwa ini. Maka, ingin saya berpesan untuk diri baik-baik, berbuat baiklah setiap saat, Za! Kamu tak tahu kapan perjalananmu selesai. Ketika kamu sudah berbuat baik sebanyak keranjang yang kamu punya, kamu termasuk dalam golongan mereka yang beruntung. Namun kawan, berbuat baik yang banyak itu yang bagaimana? Seperti apa? Bahkan hingga usiamu sepuh pun, itu tidak menjadi jaminan bekal baikmu sudah penuh. Begitu pula jika usia masih begini bahagia menikmati gelimang rupa-rupa fatamorgana jagad raya. Jadi begini, baik itu relatif. Pragmatis, bukan? Ada saja jalan bercabang dua arah antara meriahnya ajakan setan dan tenangnya janjian Tuhan. Saya juga sama dengan yang lain, manusia biasa yang masih menimbang-nimbang nilai kebaikan. Selalu seperti itu. Fikiran saya kerap tumpul bila terlalu jauh lalai dalam ketetapanMu. Maka, dalam perihal tualangpun hati ini kerap sakit-sakitan. Bahkan lebih banyak sakit ketimbang merasakan utuh. Itulah rapuhnya hati manusia.

Seberapa banyak manusia-manusia yang pernah saya lukai hatinya, yang hingga detik ini masih tak ingin memaafkan saya? Seberapa besar aib yang telah dihijabi Tuhan agar tak menganga di permukaan bumi ini? 
 
Suatu waktu, saya juga pernah merasakan terbang tinggi mengawan. Menikmati keindahan langit yang mungkin hingga lapis tujuh, kemudian jumawa. Bila malam tandang, saya bahagia bertengger pada bulan ditemani taburan bintang. Kemegahan langit seisinya membuat saya lupa, saya ini makhluk bumi. Sepantasnya diri bukan melangit tentunya. Kembali saya merendah dalam tanah yang semestinya dipijakkan kaki ini. Kemudian sadar, lalu begitu lagi. Terbang-turun, lagi. Bila kau ingin terbang, cukup doa-doa pula harapan yang musti melangit. Jiwa dan tubuh wajib tetap pada bumi. Siklus fikiran manusia yang melulu begitu. Namun saya amat bersyukur akan hal demikian. Tuhan menciptakan fikiran kita yang merumit ini bukan tanpa alasan. Maka sederhanakan saja dengan sebaik-baiknya perasaan. Bukankah benar Tuhan menciptakan perasaan dengan banyak kebaikan di dalamnya, meski tak ada yang tahu rimbanya hati setiap manusia kecuali jiwanya sendiri. Cukupkan diri untuk melapangkan segalanya pada rimba hati. Menyederhanakan satu-dua kejadian yang berhiilir pada ikhlas. Inginku, harapan menyapa dengan klimaks sempurna di akhir perjalananku, kelak.