Detik yang
akan datang selalu menjadi rahasia waktu. Sebaik-baiknya kita ialah yang mampu
mengambil semua keputusan dengan baik pula. Membiarkan waktu pada detik
berikutnya kawin dengan diri kita dan hidup kita. Kita tak lebih dari kumpulan
perjalanan, bukan? Perjalanan mencari abadinya syurga yang dijanjikan Sang Maha
Kuasa melalui semesta ini.
Ah, tak dapat
terbayang jika detik berikutnya itu, saya selesai. Perjalanan saya telah
rampung. Meninggalkan apa-apa. Mengembalikan titipan pada Illahi Robbi, termasuk
jiwa ini. Maka, ingin saya berpesan untuk diri baik-baik, berbuat baiklah
setiap saat, Za! Kamu tak tahu kapan perjalananmu selesai. Ketika kamu sudah
berbuat baik sebanyak keranjang yang kamu punya, kamu termasuk dalam golongan
mereka yang beruntung. Namun kawan, berbuat baik yang banyak itu yang
bagaimana? Seperti apa? Bahkan hingga usiamu sepuh pun, itu tidak menjadi
jaminan bekal baikmu sudah penuh. Begitu pula jika usia masih begini bahagia
menikmati gelimang rupa-rupa fatamorgana jagad raya. Jadi begini, baik itu
relatif. Pragmatis, bukan? Ada saja jalan bercabang dua arah antara meriahnya
ajakan setan dan tenangnya janjian Tuhan. Saya juga sama dengan yang lain,
manusia biasa yang masih menimbang-nimbang nilai kebaikan. Selalu seperti itu.
Fikiran saya kerap tumpul bila terlalu jauh lalai dalam ketetapanMu. Maka,
dalam perihal tualangpun hati ini kerap sakit-sakitan. Bahkan lebih banyak
sakit ketimbang merasakan utuh. Itulah rapuhnya hati manusia.
Seberapa
banyak manusia-manusia yang pernah saya lukai hatinya, yang hingga detik ini
masih tak ingin memaafkan saya? Seberapa besar aib yang telah dihijabi Tuhan
agar tak menganga di permukaan bumi ini?
Suatu waktu,
saya juga pernah merasakan terbang tinggi mengawan. Menikmati keindahan langit
yang mungkin hingga lapis tujuh, kemudian jumawa. Bila malam tandang, saya
bahagia bertengger pada bulan ditemani taburan bintang. Kemegahan langit
seisinya membuat saya lupa, saya ini makhluk bumi. Sepantasnya diri bukan
melangit tentunya. Kembali saya merendah dalam tanah yang semestinya dipijakkan
kaki ini. Kemudian sadar, lalu begitu lagi. Terbang-turun, lagi. Bila kau ingin
terbang, cukup doa-doa pula harapan yang musti melangit. Jiwa dan tubuh wajib
tetap pada bumi. Siklus fikiran manusia yang melulu begitu. Namun saya amat
bersyukur akan hal demikian. Tuhan menciptakan fikiran kita yang merumit ini
bukan tanpa alasan. Maka sederhanakan saja dengan sebaik-baiknya perasaan.
Bukankah benar Tuhan menciptakan perasaan dengan banyak kebaikan di dalamnya,
meski tak ada yang tahu rimbanya hati setiap manusia kecuali jiwanya sendiri.
Cukupkan diri untuk melapangkan segalanya pada rimba hati. Menyederhanakan
satu-dua kejadian yang berhiilir pada ikhlas. Inginku, harapan menyapa dengan klimaks
sempurna di akhir perjalananku, kelak.