Sesungguhnya
rindu ialah tulang yang gagal menyangga berdiri kita. Tak jarang, ruh rindu
paling dahsyat sering tak menemukan jalannya. Kemudian hancur, jatuh, rata
bersama bumi.
***
Tuan, jangan terlalu menggebu
berjalan sendiri! Memunggugiku dengan segala angkuhmu. Menepilah sebentar,
tengok gurat wajah sayuku yang telah lama merindumu. Tentang pematik api yang
sering tinggal di saku kemajamu dariku untuk kado ulang tahunmu kemarin,
tentang perdebatan kita perkara baju batik apa yang cocok untuk kita pergi ke
kondangan. Belum lagi perihal nada sayup lembut pianomu yang sering kau
pasangkan untuk kebutuhan gendang telingaku. Atau ini, saat dimana matahari tua
mulai menutup sinarnya bersama kita yang duduk di tepian dermaga. Begitulah
sekantong kenangan bekasmu yang terus tinggal dan tak pernah tanggal di
kepalaku.
Banyak sekali nafas indah dalam
kekatamu yang masih kekal di ingatan.
“Sayang, kelak jika kau rindu,
tengoklah pekat malam dengan sdikit taburan bintang itu. Langitkan rindumu! Kan
kutangkap dia”.
“Saban hujan tiba dan kau menumukan
tanah basah, sesaplah! Aku berada diantara wangi tanah itu”.
Perlahan hatiku mulai sakit,
sesaklah nafas ini. Perkara rindu ini menggunung, membuku, juga benar tinggal
dimana-mana. Di segala tempat. Kelam, lebam riwayat rindu ini tak sudi berhenti
sampai titik jenuh dalam diriku. Segala perburuan mencari kau yang kuharap juga
merinduku, nyaris putus jalan. Ajarkan aku membunuh rindu. Karena yang kutahu,
membunuh rindu tak segampang menjatuhkan daun kuning dari ranting rapuh
pepohonan.
Kutahu banyak sekali dimensi warna
yang dengan mudah dapat kau temukan, Tuan. Di sini, di tempat peraduanku, rindu
ini masih tetap abu-abu. Jatuhnya tetap tak permata, karena sejatinya rindu
memang tak bertuan.