Senin, 15 Desember 2014

Kita sama-sama terluka, dan perpisahan telah menyelamatkannya.




Sepi katamu pernah tak layak dipikul sendiri. Padahal kau tahu betul, tak ada yang tepat dikawinkan dengan kesepian kecuali pada diri yang merasa sepi sendiri. Aku dan kamu, maksudnya kita, sudah sepakat menyetujui perpisahan yang sepaket dengan saling melupakan. Itu berarti umur kenangan makin panjang dari hubungan kita sendiri yang telah berakhir ini. Menutup rapi segala asa yang hilirnya hanya pada takdir. Menyapu bersih janji-janji yang telah mati oleh usia hubungan kita. Pula menyelamatkan senyum yang sempat bersembunyi atas keputusan adil yang kita buat.

Saban malam ingatanku kerap kuat atas dirimu, Tuan. Bagai menggarami luka sendiri, makin parah segala apa yang ada di tubuhku. Sebagian mimpiku dimasuki oleh apapun tentang dirimu. Bagaimana bisa cepat kuberujung untuk menanggalkan kau dalam diriku jika menghilangkan namamu saja tak sanggup kulakukan. Sudah kupintakan pada Tuhanku doa-doa tentang kekuatan agar aku mampu lapang dan percaya bahwa kita, maksudnya aku dan kamu, harus tetap berbahagia, sendiri-sendiri. Jangan tanyakan pada dada siapa luka penuh memar dan nanah yang belum sembuh ini masih bersemayam. Pada air mata siapa yang masih tertetes dengan luka. Tuan, dengar! Kita tidak sedang berlomba, bukan? Siapa yang lebih dari siapa itu tidak penting. Tidak ada pemenang dari jawaban tersebut, kalau kenyataannya telah nyata kita berpisah. Bukan aku maupun kamu yang menang. Tapi tak pernah ada pemenang.

Musim masih menangis. Air mataku tak akan tandas jika musim terus menerus basah begini. Yang kubutuhkan hanya kemarau untuk mengeringkan kesedihan ini. Air mataku benar tak adil dengan diri sendiri. Membiarkannya kelopok mata makin lebam, kantung mata makin pekat, dan tubuh makin kering. Ya, aku harus kuat selayaknya kamu.  Aku harus berdiri melawan sepi, kemudian berkenalan dengan bahagia. Kupasangkan kakiku untuk lantang berjalan sendiri, menikmati cahaya timur setiap pagi, menyapa mentari dengan segenap rasa paling berlian. Tuan, perempuan yang katamu selalu pandai menangis ini, maksudnya aku, mampu merampungkan kesedihan. Kita, maksudnya aku dan kamu, sama-sama terluka dan perpisahan telah menyelamatkannya.

Bahagia Menjadi Rumit Jika Kita Tinggi Rerharap



Pernah tidak kita berharap dalam, namun akhirnya tak sesuai kenyataan? Atau justu harapan bagai terhempas kemana entah. Iya, aku pernah. Tuhan memang selalu menjaga ketidakjelasanNya agar kita tetep tak enggan untuk memanjat doa, merawat harap dan memelihara ingin. Dalam segala yang sejatinya baik. Bahkan kekata baik-pun sebenarnya masih luas. Esensi yang bagaimana yang bisa menjelaskan baik itu? Kalau toh baik bagi kita tak tentu baik bagi yang lain? Semua yang kita yakini selalu mutlak oleh fikiran kita masing-masing, bukan?

Pada lelaki sepuh berkopyah putih yang rajin menjaga setiap kendaraan di masjid Darussalam itu, baginya; ucapan terima kasih dari pengendara pengunjung masjid itu sudah cukup membuatnya bahagia. Untuk si kecil Fitri yang entah bagaimana perasaan hatinya ketika sadar tak lagi ada panggilan "Ibu", sosok yang saban hari menggendongnya. Atau jari-jari mungil miliknya yang ternyata sudah tak mampu lagi untuk menyisir rambutnya, baginya; dia cukup meminjam jari kekar sang Ayah untuk membantu menyisir rambut halus milik gadis kecil mata sipit yang usianya belum genap 3 tahun atau sekedar menuntun bersepeda saban sore, itu lebih dari merasa cukup bahagia.

Namun beda, jika bahagiaku tak pernah serupa mereka. Ah segala memang relatif. Bahagia sekalipun. Luluh hati ini menyaksikan sosok keseharian yg kerap kutemui mereka. Bahagia macam mana yg sebenarnya ingin kutunaikan? Rasa syukur yang bagaimana lagi yang kurang kuraih? Pada rakusnya segala rasaku, keberkahan mengawang bagai kabut tipis. Mohon, cukupkan segala yang kupunya dengan sebenar-benarnya merawat, memelihara dan menampung mereka dengan baik.

Aku merasa tak cukup pintar memakamkan air mata kesedihan. Semakin kupaksa pergi, semakin hebat olehnya menyakiti relung. Kesedihan-kesedihan berlomba meletupkan dada, memaksa detak berdegup lebih dari biasanya. Klimaksnya bermuara pada retina mata. Pipiku basah, mataku hujan. Wajahku payung patah. Sudah kusederhanakan segala persepsiku tentang bahagia menurut diriku. Tak ingin sekali kumemahami rumput hijau tetangga itu. Karena kutahu, rumputku tumbuh lebih segar dari rumput manapun.


Sabtu, 05 Juli 2014

Sepi Bukan Kamu



 

Ruangan tempat peraduan ke dua ku kembali mengabarkan dukanya. Kesedihan menganga menjadi nuansa yang entah pada bagian mana harus senang. Aku dipaksanya tidak tidur selarut ini. Menemani perayaan malam lengkap dengan sepi dan dinginnya. Kali ini aku sungguh menikmati benar. Signal non lokal memancarkan suarnya kepadaku tentang dia yang sekarang sedang berjuang hidup. Berandai dalam fikirku bagaimana aku harus bersyukur dengan setiap tarikan-hempusan nafas ini, warna pelangi yang masih jelas dalam retina ini, lengan-kaki yang juga masih mampu kurasakan kuatnya. Rasa bahagia yang tanpa beban kuagungkan pada keadaan bahagia. Aku pula nyaris bernanah menikmati perasaanku sendiri. Kugulung tubuh ringkihku demi menghilangkan gigil yang menyesapi tulang. Gigil yang berarti sakit tak berperi prahara hidupmu. Sudah sepandankah rasa sakit ini, Kasih? Bukan kubermaksud memadamkan perasaan indahmu, Kasih. Segala rasa bahagiaku kemudian terkoyak dengan wajah sendumu. Wajah yang selalu melihatku dengan tulus. Aku harap aku tak salah menerjemahkan bahasa hatimu. Kuyakinkan itu sebagai sesuatu yang kekal kauberikan tanpa kau harus minta imbalan sebagaimana mestinya.
Bahagiaku menggerogoti separuh dari isi tubuhku. Kemudian sisa setengah. Kubiarkan dia tetap hidup dengan sisa usiaku. Namun tak kan kubiarkan sepi mengasapimu, yang artinya kau harus segera bahagia. Bukan hanya berbekalkan warna merah dan hijau yang selalu kaulihat saat awal membuka kelopakmu. Kuberikan warna merah jambu ini, yang katanya warna paling abadi sebutan banyak orang untuk sepasang kekasih. Bukan bunyi jam dinding di kamarmu itu yang seharusnya menemanimu, bukan pula pancaran lampu noen sebagai semangat untuk matamu.
Jangan kau panjangkan usia sepimu, Kasih. Jangan! Kabarkan padaku kau segera menemuiku dalam khayalan mimpi indahku saban malam. Ku harap. Ini salah satu cara menggenapkan bahagia denganmu.