Sakit hati
oleh diri sendiri jauh lebih pedih rasanya ketimbang disakiti oleh orang lain.
Berharap yang bukan pada tempatnya pun bukan sesuatu yang harus terus
disemaikan. Begini, aku benar
mencintaimu. Itu tak salah. Aku menjemput cinta itu dengan keadaan baik sekali,
sadar penuh bahwa kau yang kuharapkan.
Tapi sungguh memang kau tak pernah berjanji apa-apa semisal menua
bersama. Namun entah, aku bahagia. Pragmatis, lagi-lagi. Sedang kata paling
tepat menggambarkan sumber sihir yang terletak pada dirimu ialah 'sederhanamu'.
Bahkan sering
disatu keadaan pernah, kita miliki malam yang sama-sama libur. Itu berarti aku
pun kamu, tanpa jeda berbondong cerita tentang ini-itu milik hidup kita.
Bagaimana masa kecilmu dulu yang epic. Mengembala sembari belajar, tak luput
selalu juara kelas atas gigihnya tingkat belajarmu yg bisa memakan semalam
suntuk. Masa-masa bermain yang menyegarkan senyuman. Kemudian lagi berbaktinya
kamu kepada kedua malaikat kehidupan yang memberimu nafas hingga sampai detik
ini. Masa kecil milikmu yang persis sempurna tergambar pada buku dongengku.
Cintaku selalu jatuh lebih banyak pada setiap hal kecil, serupa zarah
sekalipun. Dan aku yakin kesederhanaan yang membahagiakan demikian adanya tak
berhenti hanya pada titik kanakmu saja.
Fikirku,
dunia begitu indah saat bersamamu. Kamu mampu mengubahnya dengan cara yang tak
kuketahui. Insan Tuhan selayak kamu tak banyak kutemukan dihidupku. Dirimu yang
satu, dirimulah yang selalu menyebarkan serbuk kebahagiaan pada siapa saja yang
didekatmu. Kamu dicintai banyak orang. Aku riuh diantaranya.
Tak apa jika
mungkin diri ini yang hanya mencintaimu, mencintai hanya pada satu arah. Tak
terbalaskan. Lantas berbinar dengan sejuta kembang rayuan memabukkan yang
sehilir dengan hampa. Aku yang memaknainya.
Aku menjelma
menjadi perempuan yang antah berantah, bahkan sekadar membedaki wajah saja tak
sanggup kulampaui. Aku mencoba memperbaiki yang rusak di sana. Pikiran tetaplah
pikiran. Sejuntai apapun kekata yang coba kurangkai sempurna, aku tetaplah
manusia. Manusia yang tak luput dari salah pun khilaf. Manusia yang tak pernah
lulus dari ujian Tuhannya. Dan tetap kuyakini bahwa segala yang berat
ini-menurutku-ialah cara Tuhan mengatakan bahwa Tuhan begitu mencintaiku, Tuhan
begitu memperdulikanku.
Pengharapan-pengharapkan
mulai kususun rapi untuk kuberikan satu hanya pada Tuhan, bukan makhluknya.
Patah sekali
rasanya ketika melihatmu dengan wanita lain. Namun rasa sayang yang sakit ini
begitu malas angkat kaki dari tubuhku. Aku tak mampu dan tak ada waktu untuk
membencimu.