Senin, 15 Desember 2014

Bahagia Menjadi Rumit Jika Kita Tinggi Rerharap



Pernah tidak kita berharap dalam, namun akhirnya tak sesuai kenyataan? Atau justu harapan bagai terhempas kemana entah. Iya, aku pernah. Tuhan memang selalu menjaga ketidakjelasanNya agar kita tetep tak enggan untuk memanjat doa, merawat harap dan memelihara ingin. Dalam segala yang sejatinya baik. Bahkan kekata baik-pun sebenarnya masih luas. Esensi yang bagaimana yang bisa menjelaskan baik itu? Kalau toh baik bagi kita tak tentu baik bagi yang lain? Semua yang kita yakini selalu mutlak oleh fikiran kita masing-masing, bukan?

Pada lelaki sepuh berkopyah putih yang rajin menjaga setiap kendaraan di masjid Darussalam itu, baginya; ucapan terima kasih dari pengendara pengunjung masjid itu sudah cukup membuatnya bahagia. Untuk si kecil Fitri yang entah bagaimana perasaan hatinya ketika sadar tak lagi ada panggilan "Ibu", sosok yang saban hari menggendongnya. Atau jari-jari mungil miliknya yang ternyata sudah tak mampu lagi untuk menyisir rambutnya, baginya; dia cukup meminjam jari kekar sang Ayah untuk membantu menyisir rambut halus milik gadis kecil mata sipit yang usianya belum genap 3 tahun atau sekedar menuntun bersepeda saban sore, itu lebih dari merasa cukup bahagia.

Namun beda, jika bahagiaku tak pernah serupa mereka. Ah segala memang relatif. Bahagia sekalipun. Luluh hati ini menyaksikan sosok keseharian yg kerap kutemui mereka. Bahagia macam mana yg sebenarnya ingin kutunaikan? Rasa syukur yang bagaimana lagi yang kurang kuraih? Pada rakusnya segala rasaku, keberkahan mengawang bagai kabut tipis. Mohon, cukupkan segala yang kupunya dengan sebenar-benarnya merawat, memelihara dan menampung mereka dengan baik.

Aku merasa tak cukup pintar memakamkan air mata kesedihan. Semakin kupaksa pergi, semakin hebat olehnya menyakiti relung. Kesedihan-kesedihan berlomba meletupkan dada, memaksa detak berdegup lebih dari biasanya. Klimaksnya bermuara pada retina mata. Pipiku basah, mataku hujan. Wajahku payung patah. Sudah kusederhanakan segala persepsiku tentang bahagia menurut diriku. Tak ingin sekali kumemahami rumput hijau tetangga itu. Karena kutahu, rumputku tumbuh lebih segar dari rumput manapun.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar