Sabtu, 19 April 2014

Menepilah, Tuan! Rindu ini meradang ingin menemukanmu


Sesungguhnya rindu ialah tulang yang gagal menyangga berdiri kita. Tak jarang, ruh rindu paling dahsyat sering tak menemukan jalannya. Kemudian hancur, jatuh, rata bersama bumi.
***
            Tuan, jangan terlalu menggebu berjalan sendiri! Memunggugiku dengan segala angkuhmu. Menepilah sebentar, tengok gurat wajah sayuku yang telah lama merindumu. Tentang pematik api yang sering tinggal di saku kemajamu dariku untuk kado ulang tahunmu kemarin, tentang perdebatan kita perkara baju batik apa yang cocok untuk kita pergi ke kondangan. Belum lagi perihal nada sayup lembut pianomu yang sering kau pasangkan untuk kebutuhan gendang telingaku. Atau ini, saat dimana matahari tua mulai menutup sinarnya bersama kita yang duduk di tepian dermaga. Begitulah sekantong kenangan bekasmu yang terus tinggal dan tak pernah tanggal di kepalaku.
            Banyak sekali nafas indah dalam kekatamu yang masih kekal di ingatan.
       “Sayang, kelak jika kau rindu, tengoklah pekat malam dengan sdikit taburan bintang itu. Langitkan rindumu! Kan kutangkap dia”.
       “Saban hujan tiba dan kau menumukan tanah basah, sesaplah! Aku berada diantara wangi tanah itu”.
            Perlahan hatiku mulai sakit, sesaklah nafas ini. Perkara rindu ini menggunung, membuku, juga benar tinggal dimana-mana. Di segala tempat. Kelam, lebam riwayat rindu ini tak sudi berhenti sampai titik jenuh dalam diriku. Segala perburuan mencari kau yang kuharap juga merinduku, nyaris putus jalan. Ajarkan aku membunuh rindu. Karena yang kutahu, membunuh rindu tak segampang menjatuhkan daun kuning dari ranting rapuh pepohonan.
            Kutahu banyak sekali dimensi warna yang dengan mudah dapat kau temukan, Tuan. Di sini, di tempat peraduanku, rindu ini masih tetap abu-abu. Jatuhnya tetap tak permata, karena sejatinya rindu memang tak bertuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar