Awal hari ini,
semesta cerah. Beda dengan hatiku yang bergemuruh melompat-lompat memikirkan
apapun yang akan kuhadapi nanti. Dan entah oleh sebab yang tak terjelaskan
nafsu makan sarapan berkurang. Seperti biasa, aktifitasku dimulai dengan
perjalanan mencari barokahnya rizekiMu lewat peluhku. Sepanjang jalan fikiranku
tak terlepas dari memikirkanmu, mengkhayal tentang segala yang akan terjadi
nanti. Iya, nanti siang aku berencana mengunjungi tempat tinggalmu yang baru.
Setelah hampir satu tahun kita tak pernah bersua. Nanti aku harus bagaimana?
Apa aku harus tersenyum dahulu ataukah mengulurkan tanganku kemudian menjabat
tanganmu baru tersenyum? Tidakkah aku canggung nanti? Bisakah kita sepakat
melapangkan dada, tak berbincang masa lalu dan hanya membicarakan kehidupan
barumu sekarang? Karena sungguh kamu yang harus memperoleh banyak perhatian
sekarang. Bisakah aku tak gugup dan terus menyabitkan bibirku?
Detik melesap
begitu lama. Dan memang ya, waktu berlalu begitu panjang saat kita menanggung
beban. Ingin menembus waktu pula ruang yang menyesakkan dada. Aku yang membuat
dadaku sesak. Bukan waktu, bukan ruang, bukan pula kamu. Aku sediri dan aku
bodoh.
Hari ini, Bapak
Ibu yang memintaku hadir menemuimu, bersama mereka pulalah kita akan berkunjung
ke rumahmu. Beliau-beliau menyuarakan “temuilah dia, berhentilah
mengacuhkannya. Lihat dunia menggunakan mata hatimu, Nak. Jangan risau dengan
kicauan orang lain. Manusia tetaplah manusia. Ingatlah, Allah menerima semua
makhluk. Bahagiakan dia dengan kebahagiaan yang kau bagi, nanti.” Baiklah, apa
yang bisa kutolak atas perintah beliau-beliau ini.
Tepat pukul
12.00 waktu dimana menunjukkan matahari berada 90°C di atas kepala. Kugantungkan
percayaku pada Bapak Ibuk, kukuatkan pertahananku dengan terus berdzikir
meminta perlindungan dariNya. Aku ini perempuan tak kuat yang terus
berpura-pura menjelma wonder woman. Cobalah kau kuak pintu hatiku, pasti akan
kau temukan serpihan kegagalan yang bila kau pegang kau akan berdarah. Aku
sungguh sulit lulus bila dihadapkan dengan segala macam cobaan. Aku yang
pemalas. Mungkin begitulah cara Allah menggolongkanku agar supaya aku tak
pernah lalai terhadapNya. Kembali terngiang apa yang harus kulakukan. Apakah
harus terbirit sejauh langkah kedua kakiku membawa, yang sejatinya aku bukanlah
pejalan yang tanggung.
Pintu tempat
tinggalmu dibuka oleh petugas jaga. Bapak Ibu ada di barisan depanku. Aku terus
saja menggandeng Ibu yang pasti beliau sadar dengan perubahan rasa telapak
tangan anaknya yang mulai menampakkan hawa dingin. Aku menengadah berharap
buliran air mataku tak jatuh diantara tatapan mata mereka dan matamu tentu
saja.
Sampailah aku
pada titik kedua mataku dan matamu bertemu. Kau keluar dibalik jeruji itu,
lengkap dengan peci dan sarung. Daya kekuatan yang kumiliki kemudian menguap,
terbawa hembusan angin dan terbakar teriknya matahari. Dan benar, apa-apa tak
ada yang terucap dari mulutku, kekuatan bicaraku hilang. Menjabat tanganmu,
menciptakan senyum simpul kemudian duduk. Kamu duduk menghadap kita bertiga.
Ada sekat diantara kamu, dan aku, juga Bapak Ibu. Mungkinkan ini yang disebut
perbedakan keadaan. Tak bisakah kita berkumpul dalam satu ruangan tanpa
terbatas sekat? Aku tahu, inilah dunia barumu.
Aku mati rasa.
Aku tak sanggup menggambarkan segala yang menumpuk dalam dada ini. Rupanya kau
yang gugup, kau yang tak mampu menatapku. Aku lekat melihat persembahan makhluk
dihadapku. Bapak Ibu memberondong pertanyaan kepadamu. Perihal kesehatanmu,
mengkhawatirkan tidurmu yang tanpa alas empuk, tentang teman-teman yang akan
menjadi keluarga barumu, makanan yang kurang asupan gizi. Aku justru yang tak
focus akan itu. Aku mulai sibuk memporak-porandakan pertahananku sendiri,
merepotkan diri sendiri dengan merangkum segalaku tentang kamu yang ujungnya
membuatku sakit. Akhir perjumpaan kita, aku lungkai, Bu. Sungguh ini hari yang
panjang..
Semangat mbak,e....
BalasHapussemoga Ini adalah awal yang baik untuk selalu menjaga silaturhim denganya.
Hatur nuhun furkan doanya ^.^
BalasHapus