Kamis, 11 Agustus 2016

3 Dhul Qa’dah 1437



Awal hari ini, semesta cerah. Beda dengan hatiku yang bergemuruh melompat-lompat memikirkan apapun yang akan kuhadapi nanti. Dan entah oleh sebab yang tak terjelaskan nafsu makan sarapan berkurang. Seperti biasa, aktifitasku dimulai dengan perjalanan mencari barokahnya rizekiMu lewat peluhku. Sepanjang jalan fikiranku tak terlepas dari memikirkanmu, mengkhayal tentang segala yang akan terjadi nanti. Iya, nanti siang aku berencana mengunjungi tempat tinggalmu yang baru. Setelah hampir satu tahun kita tak pernah bersua. Nanti aku harus bagaimana? Apa aku harus tersenyum dahulu ataukah mengulurkan tanganku kemudian menjabat tanganmu baru tersenyum? Tidakkah aku canggung nanti? Bisakah kita sepakat melapangkan dada, tak berbincang masa lalu dan hanya membicarakan kehidupan barumu sekarang? Karena sungguh kamu yang harus memperoleh banyak perhatian sekarang. Bisakah aku tak gugup dan terus menyabitkan bibirku?
Detik melesap begitu lama. Dan memang ya, waktu berlalu begitu panjang saat kita menanggung beban. Ingin menembus waktu pula ruang yang menyesakkan dada. Aku yang membuat dadaku sesak. Bukan waktu, bukan ruang, bukan pula kamu. Aku sediri dan aku bodoh.
Hari ini, Bapak Ibu yang memintaku hadir menemuimu, bersama mereka pulalah kita akan berkunjung ke rumahmu. Beliau-beliau menyuarakan “temuilah dia, berhentilah mengacuhkannya. Lihat dunia menggunakan mata hatimu, Nak. Jangan risau dengan kicauan orang lain. Manusia tetaplah manusia. Ingatlah, Allah menerima semua makhluk. Bahagiakan dia dengan kebahagiaan yang kau bagi, nanti.” Baiklah, apa yang bisa kutolak atas perintah beliau-beliau ini.
Tepat pukul 12.00 waktu dimana menunjukkan matahari berada 90°C di atas kepala. Kugantungkan percayaku pada Bapak Ibuk, kukuatkan pertahananku dengan terus berdzikir meminta perlindungan dariNya. Aku ini perempuan tak kuat yang terus berpura-pura menjelma wonder woman. Cobalah kau kuak pintu hatiku, pasti akan kau temukan serpihan kegagalan yang bila kau pegang kau akan berdarah. Aku sungguh sulit lulus bila dihadapkan dengan segala macam cobaan. Aku yang pemalas. Mungkin begitulah cara Allah menggolongkanku agar supaya aku tak pernah lalai terhadapNya. Kembali terngiang apa yang harus kulakukan. Apakah harus terbirit sejauh langkah kedua kakiku membawa, yang sejatinya aku bukanlah pejalan yang tanggung.
Pintu tempat tinggalmu dibuka oleh petugas jaga. Bapak Ibu ada di barisan depanku. Aku terus saja menggandeng Ibu yang pasti beliau sadar dengan perubahan rasa telapak tangan anaknya yang mulai menampakkan hawa dingin. Aku menengadah berharap buliran air mataku tak jatuh diantara tatapan mata mereka dan matamu tentu saja.
Sampailah aku pada titik kedua mataku dan matamu bertemu. Kau keluar dibalik jeruji itu, lengkap dengan peci dan sarung. Daya kekuatan yang kumiliki kemudian menguap, terbawa hembusan angin dan terbakar teriknya matahari. Dan benar, apa-apa tak ada yang terucap dari mulutku, kekuatan bicaraku hilang. Menjabat tanganmu, menciptakan senyum simpul kemudian duduk. Kamu duduk menghadap kita bertiga. Ada sekat diantara kamu, dan aku, juga Bapak Ibu. Mungkinkan ini yang disebut perbedakan keadaan. Tak bisakah kita berkumpul dalam satu ruangan tanpa terbatas sekat? Aku tahu, inilah dunia barumu.
Aku mati rasa. Aku tak sanggup menggambarkan segala yang menumpuk dalam dada ini. Rupanya kau yang gugup, kau yang tak mampu menatapku. Aku lekat melihat persembahan makhluk dihadapku. Bapak Ibu memberondong pertanyaan kepadamu. Perihal kesehatanmu, mengkhawatirkan tidurmu yang tanpa alas empuk, tentang teman-teman yang akan menjadi keluarga barumu, makanan yang kurang asupan gizi. Aku justru yang tak focus akan itu. Aku mulai sibuk memporak-porandakan pertahananku sendiri, merepotkan diri sendiri dengan merangkum segalaku tentang kamu yang ujungnya membuatku sakit. Akhir perjumpaan kita, aku lungkai, Bu. Sungguh ini hari yang panjang..

2 komentar:

  1. Semangat mbak,e....
    semoga Ini adalah awal yang baik untuk selalu menjaga silaturhim denganya.

    BalasHapus