Sabtu, 17 Januari 2015

Air Mataku Menjadi Tumbal Kebahagiaan



Kulucuti cinta yang bersemayam anggun dalam relung jiwaku. Menghempaskan segala asa, janji dan harap yg pernah kita bangun tanpa tebus. Dan memang benar, rencana selalu lebih panjang dari kenyataan. Dulu, kamu kerap menyulamkan mimpi indah di atas deritaku yang kamu kira aku ini cuma bisa menangis. Kamu menguatkan aku yang sering berdarah, membisikan terus pada telingaku bahwa dunia ini tak akan kejam bagi orang baik, lahadlah yang akan melapangkan tempat untuk mereka yang iri akan duniaku. Begitu katamu, dan aku percaya pasrah setelahnya. Aku memimpikan kamu sebagai pangeran berkudaku yang mampu melindungiku dari terpaan badai di semesta raya, kamu berjanji selamanya di sini di tempat peraduan hatiku paling berlian demi menopang segala rasa. Lelaki memang selalu begitu dan perempuan cukup percaya akan harapan-harapan dengan merawatnya meski tak akan menuai apalagi berbuah. Sudah kucukupkan bahagiaku denganmu sampai pada titik ini saja, Tuan. Belum sembuh luka yang tergores dulu, kau telanjangi aku dengan nanah yang menyayat kewarasanku. Sudah kutenggak habis air mataku sendiri, agar tak ada lagi kesedihan yang setia terhadapku. Lukaku tak ada penawarnya sekarang. Hidup bagaimana yang ingin kau kekalkan, Tuan? Setelah kau berhasil menghempasku di tengah hutan temaram penuh duka. Dan benar, hanya aku yang akan menyelamatkan lukaku sendiri. Ya, aku harus kuat.
Baiklah, jika memang begini menjadi satu keputusan yang bijak untuk kita. Aku kembali dengan diriku sendiri dan kamu terus lanjutkan mimpi-mimpimu dengan dirimu sendiri, pula. Pintaku, jangan pernah melupakan yang sudah-sudah. Meski terluka, kuingin dengan saling mengingat, kita, maksudnya aku dan kamu, akan terus menemukan hal baik yang tak kita temukan dulu.
Terima kasih pada kamu yang dipilih Tuhan untuk mampir di hidupku dan mengajarkanku kekuatan. Aku tak pernah menyesal pernah dengan sangat baik mengenalmu selama ini. Keindahan perasaan tetiba runtuh dengan hanya sekali temu. Sekarang kubangun kekuatan untuk pertahanan diriku lagi, setidaknya aku berusaha tidak terjatuh dalam hal yang sama. Kutanggalkan gaun hitam kesedihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar