Selamat bersyukur bagi setiap insan yang memang sedang merasakannya
sekarang. Sepertiku. Tak akan pernah kamu merasa menyesal jika semua yang telah
terlalui, kamu sertakan Tuhanmu di dalamnya. Kali ini ijinkan aku
sedikit menulis roman yang mungkin
kalian sebut sebagai picisan panjang lebar demi
memenuhi permintaan hati yang hampir teraniaya oleh kesakitan di dalamnya yang
jika tulisan ini tak terurai, makin dalam luka makin deras air mata menetes.
Bukankah benar, hidup itu tentang menjadi pahlawan untuk diri sendiri? Kurasa
demikian. Aku berusaha memperjuangkan diriku, hidupku dan bahagiaku. Tak
semudah membalikkan telapak tangan, tak segampang mengedipkan kelopak mata.
Tualang empat hari yang lalu, cukup dan lebih memberikanku pelajaran
hidup-sekali lagi, untuk memerdekakan hidupku, tentunya. Kota pudak memberi
banyak peristiwa kehidupan yang belum pernah kudapat sebelumnya. Tujuan awal
singgah di kota itu sebenarnya ingin bertemu saudara sehawa yang sudah menjadi
saudaraku sejak aku berumur 12 tahun. Kufikir, aku tepat melarikan diri dari
kota rantauku ke tempat dia untuk sekedar merasa nyaman dengan wejangan
rohaninya. Menghabiskan waktu berdua saja di kamar tidur dengan berbagai cerita
kehidupan masing-masing, masing-masing saling menyemangati, menopang
keluh-kesah, ini-itu, suka-duka, dalam satu wadah yang bernama temu. Kali ini
rinduku bertuan.
Baiknya, rencanaku dibelokkan Tuhan kearah yang sama sekali tak
kuduga. Empat hari di kota pudak, nyaris seperti empat tahun. Kesedihan membuat
lambatnya waktu untuk bergerak. Rinduku tak bisa intens dengan hanya bertemu
temanku di sana. Tuhan ternyata telah menyiapkan peristiwa dan kejadian yang
mampu membuatku menulis ini dengan kuat, tak rapuh namun terus mengalirkan air
mata. Bersama orang baru dengan cerita indah di dalamnya. Kukuatkan
tulang-tulangku agar tak patah, kusangga dengan keikhlasan dan syukur yang
ruah. Agar nanti jika kutemui diriku sendiri yang gagal berdiri, ada seseorang
yang bersedia mengingatkan tulisan ini padaku, bahwa dalam tulisan ini
tersimpan banyak kesedihan di setiap huruf-hurufnya, bahwa di tulisan ini aku
mampu melewati empat hari yang nyaris merenggut warasnya jiwaku. Ditunjukannya
padaku, pelajaran hidup tentang kehilangan dan keikhlasan oleh tangan Tuhan.
Hingga sampai kuselesaikan tulisanku ini, ternyata awan mendung tak
kunjung hilang, berarak meminta kenangan berlomba menjadi jawara hatiku sendiri. Dipaksanya aku
menengok yang sudah-sudah dengan luka penuh darah dan nanah. Menggulungkan
kebahagiaan kemudian menggelar altar kenangan. Aku percaya, aku harus meniti
luka hidup terlebih dahulu sebelum merayakan kemenangan bahagia. Bersulang
dengan sepinya jiwa pun butir air mata. Kucuri genang sesal kemudian meramunya
sebagai obat kekuatan yang akan kuminumkan saban malam. Berharap aku segera sembuh. Klimaksnya aku mahfum, kini kembaraku telah berujung. Kuselesaikan perayaan sepi
sendiri dengan sekuat yang kubisa.
:(
BalasHapus