Sabtu, 17 Januari 2015

Tualang...




Selamat bersyukur bagi setiap insan yang memang sedang merasakannya sekarang. Sepertiku. Tak akan pernah kamu merasa menyesal jika semua yang telah terlalui, kamu sertakan Tuhanmu di dalamnya. Kali ini ijinkan aku sedikit menulis roman yang mungkin kalian sebut sebagai picisan panjang lebar demi memenuhi permintaan hati yang hampir teraniaya oleh kesakitan di dalamnya yang jika tulisan ini tak terurai, makin dalam luka makin deras air mata menetes. Bukankah benar, hidup itu tentang menjadi pahlawan untuk diri sendiri? Kurasa demikian. Aku berusaha memperjuangkan diriku, hidupku dan bahagiaku. Tak semudah membalikkan telapak tangan, tak segampang mengedipkan kelopak mata.

Tualang empat hari yang lalu, cukup dan lebih memberikanku pelajaran hidup-sekali lagi, untuk memerdekakan hidupku, tentunya. Kota pudak memberi banyak peristiwa kehidupan yang belum pernah kudapat sebelumnya. Tujuan awal singgah di kota itu sebenarnya ingin bertemu saudara sehawa yang sudah menjadi saudaraku sejak aku berumur 12 tahun. Kufikir, aku tepat melarikan diri dari kota rantauku ke tempat dia untuk sekedar merasa nyaman dengan wejangan rohaninya. Menghabiskan waktu berdua saja di kamar tidur dengan berbagai cerita kehidupan masing-masing, masing-masing saling menyemangati, menopang keluh-kesah, ini-itu, suka-duka, dalam satu wadah yang bernama temu. Kali ini rinduku bertuan.

Baiknya, rencanaku dibelokkan Tuhan kearah yang sama sekali tak kuduga. Empat hari di kota pudak, nyaris seperti empat tahun. Kesedihan membuat lambatnya waktu untuk bergerak. Rinduku tak bisa intens dengan hanya bertemu temanku di sana. Tuhan ternyata telah menyiapkan peristiwa dan kejadian yang mampu membuatku menulis ini dengan kuat, tak rapuh namun terus mengalirkan air mata. Bersama orang baru dengan cerita indah di dalamnya. Kukuatkan tulang-tulangku agar tak patah, kusangga dengan keikhlasan dan syukur yang ruah. Agar nanti jika kutemui diriku sendiri yang gagal berdiri, ada seseorang yang bersedia mengingatkan tulisan ini padaku, bahwa dalam tulisan ini tersimpan banyak kesedihan di setiap huruf-hurufnya, bahwa di tulisan ini aku mampu melewati empat hari yang nyaris merenggut warasnya jiwaku. Ditunjukannya padaku, pelajaran hidup tentang kehilangan dan keikhlasan oleh tangan Tuhan.

Hingga sampai kuselesaikan tulisanku ini, ternyata awan mendung tak kunjung hilang, berarak meminta kenangan berlomba menjadi jawara hatiku sendiri. Dipaksanya aku menengok yang sudah-sudah dengan luka penuh darah dan nanah. Menggulungkan kebahagiaan kemudian menggelar altar kenangan. Aku percaya, aku harus meniti luka hidup terlebih dahulu sebelum merayakan kemenangan bahagia. Bersulang dengan sepinya jiwa pun butir air mata. Kucuri genang sesal kemudian meramunya sebagai obat kekuatan yang akan kuminumkan saban malam. Berharap aku segera sembuh. Klimaksnya aku mahfum, kini kembaraku telah berujung. Kuselesaikan perayaan sepi sendiri dengan sekuat yang kubisa.

1 komentar: