Kamis, 20 Februari 2014

Kisah Seorang Perempuan

Sebenarnya bukan salah aku ataupun kamu. Juga bukan salah keadaan. Tapi bukankah ini sudah waktunya? Belum dalam kata akhir memang, bukan jua aku tak lagi mencintaimu. Kau masih begitu berlian dalam dada ini. Memancar kilau picing nan elok bagi diriku yg senantiasa menemanimu. Jangan anggap ini hanya klise retoris ciptaan analisis gilaku. Jangan! Sekali lagi, jangan! Atau jika kau tetep kekeh, aku akan segera meronta, meradang, dan meminta kepadamu untuk tetep hangat dalam dada beserta kilaumu.
Percayalah, lebih berdarah-darah kesetiaan ini ketimbang deritaku sendiri. Sering kau janjikan tentang cahaya di ujung sana ketika dulu kau mulai menggenggam tanganku, merentangkan pelukanmu dan menyimpulkan garis bibir dalam senyummu saat kita berada dalam persimpangan menuju cahaya itu. Dengan segala janjimu aku luluh, aku percaya dan kemudian pasrah dengan teratur. Memulai lebih kencang menguatkan tanganku dan tanganmu, mulai merengkuh hangat pelukmu pun merekahkan bibirku untuk senyum bahagia.
Dan.. Ketika suatu masa berkata tak sesuai harapanku, aku hanya bisa diam. Entahlah, kau hilang tersapu angin dan anganku. Membiarkan waktu mempermainkanku tanpa bijaksana. Kalian pasti tahu dan setuju kalau cobaan juga tak kenal sopan santun. Dia datang dengan aura pesona memikat. Diam-diam aku mengaguminya. Air muka yang relaks, yang kalau detik itu ada petasan meledak di kakinya, dia mungkin hanya nyegir dan mengangkat bahu. Tatapannya bagai pancuran beribu kilo kubik dalam alam luas yang meneduhkanku. Aku tergoda. Dia datang tepat saat kuberada pada kelakaran sunyi tak berkesudahan. Kuterima tangannya juga tanpa alasan. Mungkin bagiku sudah terlalu jenuh dengan segala alasan tidak jelas selama ini. Dia yang sekarang jadi milikku dan kau yg masih (juga) memilikiku.
 Kalian tahu bagaimana rasanya jadi aku diantara dia dan dia? Aku sulit bernafas. Sungguh. Sulit pula bagi fikiranmu menerima kenyataan dalam sisi-sisi yang berbeda. Tak hanya itu, dalam setiap keheningan sering kuberandai bagaimana aku bisa mencapai titik terang dalam keadaan yang direstui Tuhan. Dengan kau? Atau dengan dia? Atau aku harus berdiri sendiri? Kerontang tersiksa membunuh sakit ini. 

***

Hidup ini penuh dengan kejutan. Tak perlu lagi kurisau memaksa kotak kejujuran itu terbuka. Tuhan dengan segala baik-Nya telah memberikan yang baik pula untukku sekarang.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar