Selasa, 28 Januari 2014

Apa kabar, Sahabat?



27 Oktober 2013.
Semoga kamu membacanya. Catatan ini aku buat untuk memenuhi urusan hatiku yang sulit mengurai segala bahasa yang hampir satu tahun aku rapikan dalam jiwa. Entah dari ruh bagian yang mendesakku untuk menulis ini. Aku berharap baik di ujung nanti.
Satu minggu yang lalu, ada notification dari twitter perihal kamu yang me-follow aku. Harus pada rasa yang bagaimana untuk kutampakkan; kebahagiaan karena kamu yang dengan diam masih memiliki rasa yang sama seperti dulu-menyayangiku. Ataukah api-api kekesalan yang pantas mewakilkan pada kejadian ini?
Tanpa fikir panjang, kamu sudah masuk pada barisan "following" ku. Memang, sudah lama sekali aku tahu tentang akun twittermu, tapi aku tak pernah berani sedikit pun berinteraksi denganmu. Hanya pada waktu yang tak pernah kupinta, fikirku berotasi tentang kamu. Berinteraksi satu arah. Telepatiku tak cukup pintar untuk menerka jejak fikirmu di sana. Apakah yang kurasa sama seperti yang kau rasa? Atau justru kau malah membelakangi semua tentangku. Entahlah.
Bukan hal yang sulit, jika pekerjaan memikirkanmu acapkali kumerasa tertusuk, duka dan antah brantah. Aku sering merasa kalah pada diri sendiri tersebab perbedaan kita yang tak dapat kubebaskan lantas memaku dalam kekaratan yang pilu. Logika yang sering kutemui di luar sana, bahwa perbedaan selalu menjadi pasangan yang tanpa syarat untuk sebuah kekurangan. Bahkan, aku pun sering memakai kekata itu kepada siapapun yang kiranya membutuhkan. Bodohnya diri yang tak bisa menyatu dengan kekata tersebut. Banyak sekali alasan klise mengapa kita sekarang tak lagi bergandeng tangan, tak lagi membentuk baris-baris senyum polos kita, dan iya kita tak lagi bersama.
Memang benar, egoku begitu batu jika kuharus berbicara tentangmu. Dan harus kau ingat, saat aku sudah mulai bersahabat dengan tulisan, kewarasanku jangan sekali-kali kau ragukan. Sampai pada titik kebahagiaan pun kekecewaan, aku tak pernah berdusta demi huhuf-huruf ini. Sini, cermatilah dengan sepenuh rasa!
Masa-masa dimana rasa yang tak pernah kurasakan dulu, kini sudah dapat kueja dengan sangat baik. Bagaimana kau berperan sebagai manusia yang multifungsi untuk diriku, menjadi teman kencan yang asik walau hanya berbincang ringan di warung Mie Ayam Bang Niam, menjadi kakak yang jelas peranannya; ngemong aku disaat yang tanpa kupinta kuberulah semisal anak kecil. Perihal kau melindungi diriku saat mabuk di perjalanan Semarang-Rembang.
"Mbak aku mabuk. Itu kena baju belakang kamu. Maaf ya?" Dengan pelan dan rasa takut aku mengucap demikian.
"Udah ga apa-apa. Sini aku bantu bersihin. Antimo ini minum dulu aja" sahutnya seraya membantu diriku membersihkan sisa muntahku.
Jelas nyatanya bukan?
Tak hanya itu, kita sering bercengkerama di kasur empukku hanya sekedar melewatkan obrolan basa-basi masalah sekolah. Yang selalu diselingi kamu dengan pengetahuan intelektual yang berada di tingkat atasku. Bahkan tak jarang, sering kupinta kamu menulis puisi-puisi indah kemudian kutagih lantas kualih menjadi milikku bertumpuk puisimu itu hanya karena aku suka karyamu.
Aku yakin, kamu orang pertama yang mengetahui rahasia gilaku masalah cowok yang pertama kali kukenal lantas kucinta. Berkali kusewa pendengaranmu hanya sekedar demi mendengarkan ocehan anak smp sepertiku. Kuharap kamu tak bosan ketika itu, Mbak. Dan masih banyak rasa indah yang kita cipta dulu, bukan?
Tentang segala kenang, aku tak peduli apa kamu masih dengan sudi mengingatnya atau malah kamu tanggalkan begitu saja. Ini tentang aku, tentang tubuh yang masih sama seperti dulu; menyayangimu tanpa kurang, merindukanmu hingga tak berbatas. Lalu menangis sesal ketika bertumpuk pertanyaan dari banyak manusia yang bertanya hal kamu terhadapku. Tiap kali aku bertemu di jalan, kamu pun aku enggan sekali menyapa. Waktu benar-benar tak mau kalah untuk menertawakanku atas segala ketidakberanian demi sekedar berbicara padamu. 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar