27 Oktober 2013.
Semoga kamu membacanya. Catatan ini aku
buat untuk memenuhi urusan hatiku yang sulit mengurai segala bahasa yang hampir
satu tahun aku rapikan dalam jiwa. Entah dari ruh bagian yang mendesakku untuk
menulis ini. Aku berharap baik di ujung nanti.
Satu minggu yang lalu, ada notification
dari twitter perihal kamu yang me-follow aku. Harus pada rasa yang bagaimana
untuk kutampakkan; kebahagiaan karena kamu yang dengan diam masih memiliki rasa
yang sama seperti dulu-menyayangiku. Ataukah api-api kekesalan yang pantas
mewakilkan pada kejadian ini?
Tanpa fikir panjang, kamu sudah masuk pada
barisan "following" ku. Memang, sudah lama sekali aku tahu tentang
akun twittermu, tapi aku tak pernah berani sedikit pun berinteraksi denganmu.
Hanya pada waktu yang tak pernah kupinta, fikirku berotasi tentang kamu.
Berinteraksi satu arah. Telepatiku tak cukup pintar untuk menerka jejak fikirmu
di sana. Apakah yang kurasa sama seperti yang kau rasa? Atau justru kau malah
membelakangi semua tentangku. Entahlah.
Bukan hal yang sulit, jika pekerjaan
memikirkanmu acapkali kumerasa tertusuk, duka dan antah brantah. Aku sering
merasa kalah pada diri sendiri tersebab perbedaan kita yang tak dapat
kubebaskan lantas memaku dalam kekaratan yang pilu. Logika yang sering kutemui
di luar sana, bahwa perbedaan selalu menjadi pasangan yang tanpa syarat untuk
sebuah kekurangan. Bahkan, aku pun sering memakai kekata itu kepada siapapun
yang kiranya membutuhkan. Bodohnya diri yang tak bisa menyatu dengan kekata
tersebut. Banyak sekali alasan klise mengapa kita sekarang tak lagi bergandeng
tangan, tak lagi membentuk baris-baris senyum polos kita, dan iya kita tak lagi
bersama.
Memang benar, egoku begitu batu jika
kuharus berbicara tentangmu. Dan harus kau ingat, saat aku sudah mulai bersahabat
dengan tulisan, kewarasanku jangan sekali-kali kau ragukan. Sampai pada titik
kebahagiaan pun kekecewaan, aku tak pernah berdusta demi huhuf-huruf ini. Sini,
cermatilah dengan sepenuh rasa!
Masa-masa dimana rasa yang tak pernah
kurasakan dulu, kini sudah dapat kueja dengan sangat baik. Bagaimana kau
berperan sebagai manusia yang multifungsi untuk diriku, menjadi teman kencan
yang asik walau hanya berbincang ringan di warung Mie Ayam Bang Niam, menjadi
kakak yang jelas peranannya; ngemong aku disaat yang tanpa kupinta kuberulah
semisal anak kecil. Perihal kau melindungi diriku saat mabuk di perjalanan
Semarang-Rembang.
"Mbak aku mabuk. Itu kena baju
belakang kamu. Maaf ya?" Dengan pelan dan rasa takut aku mengucap
demikian.
"Udah ga apa-apa. Sini aku bantu
bersihin. Antimo ini minum dulu aja" sahutnya seraya membantu diriku
membersihkan sisa muntahku.
Jelas nyatanya bukan?
Tak hanya itu, kita sering bercengkerama di
kasur empukku hanya sekedar melewatkan obrolan basa-basi masalah sekolah. Yang
selalu diselingi kamu dengan pengetahuan intelektual yang berada di tingkat
atasku. Bahkan tak jarang, sering kupinta kamu menulis puisi-puisi indah
kemudian kutagih lantas kualih menjadi milikku bertumpuk puisimu itu hanya
karena aku suka karyamu.
Aku yakin, kamu orang pertama yang
mengetahui rahasia gilaku masalah cowok yang pertama kali kukenal lantas
kucinta. Berkali kusewa pendengaranmu hanya sekedar demi mendengarkan ocehan
anak smp sepertiku. Kuharap kamu tak bosan ketika itu, Mbak. Dan masih banyak
rasa indah yang kita cipta dulu, bukan?
Tentang segala kenang, aku tak peduli apa
kamu masih dengan sudi mengingatnya atau malah kamu tanggalkan begitu saja. Ini
tentang aku, tentang tubuh yang masih sama seperti dulu; menyayangimu tanpa
kurang, merindukanmu hingga tak berbatas. Lalu menangis sesal ketika bertumpuk
pertanyaan dari banyak manusia yang bertanya hal kamu terhadapku. Tiap kali aku
bertemu di jalan, kamu pun aku enggan sekali menyapa. Waktu benar-benar tak mau
kalah untuk menertawakanku atas segala ketidakberanian demi sekedar berbicara
padamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar