Selasa, 28 Januari 2014

Bukankah Ikhlas dan Sabar itu Sebaik-baiknya Rasa?

 
Pagi selalu punya cara sendiri demi membagi hangatnya matahari kepada tubuh-tubuh insan Ilahi.
Kemudian kegundahan yang tak pernah luput dari akal dan rasa kita, memaksa kita biasanya untuk menyalahkan keadaan, melempar segala tanya kepada Empunya hidup, klimaks terakhirnya sensor ego dalam diri yang tak bisa terkendali dengan baik.
Kedukaan tentang hidup masing-masing yang seakan membumi-leyapkan rasa bahagia. Rentetan ujian bagai aral melintang yang memaksa tuk kita lewati.
Tanpa tahu, bawasanya nikmat dan kuasa dari sang Mahakuasa selalu kuat melingkupi kita. Saya rasa kita selalu mahfum dengan kata ikhlas dan syukur. Tapi, jelasnya tanpa tahu dua kata itu kapan tepat untuk digunakan. Bukan kapan lagi, harusnya jangan membiarkan keikhlasan tanggal selama jasad masih melekat pada tubuh. Sejatinya ikhlas selalu membawa kita pada peranan lurus hidup. Tuhanmu, Tuhanku dan Tuhan kita terus berbaik menebarkan segala indah pada dunia yang fana ini. Bagaimana sebaik-baiknya dari kita mampu memberai perihal yang membawa keselamatan pada dunia pun kehidupan lain atau malah memburukkan segalanya. Pada inilah intisari keimanan kita berperan. Tentang keikhlasan yg sudah saya singgung sedikit di atas. Pula masalah sabar. Orang yg pandai bersabar juga ikhlas adalah doa-doa yg melangit. Itulah sebait kata dari seorang Ukhty cantik di jauh sana. Lantas bukan berarti pula kita harus memasrahkan diri. Memaku tanpa tindakan nyata. Utamanya, selamatkan jiwa untuk jadi pemenang pada diri sendiri.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar