Selasa, 28 Januari 2014

TENTANG KALIAN YANG MELENGKAPIKU

Entah bahasa yang bagaimana lagi yang harus aku ungkap dalam mengartikan sebuah kerinduan dengan keluarga besarku. Bapak, ibu dan adikku. Aku menulis keluarga besar lantas bukan berupa keluarga yang kata banyak orang berjumlah banyak. Tapi dari mereka aku memiliki banyak hal besar yang setiap waktu aku syukuri sebagai nikmat yang telah sang raja penguasa bumi beri untuk selalu ku jaga. Memiliki mereka merupakan takdir kehidupan terindah di hidupku. Ketika sedang dalam balutan kasih keluargaku ini, aku merasa semuanya begitu permata.
Dari bapak, aku belajar tentang kesederhanaan. Bagaimana beliau mengajarkanku arti sebuah kata sederhana yang setiap diucap beliau, batinku merasa direngkuh olehnya. Begitu hangat. Pernah satu waktu, beliau berucap "Ini yang kita punya, jangan suka iri terhadap segala apa pun di luar sana. Indahkan hatimu untuk tetap dalam keadaan syukur dan sederhana". Masya Allah, nyes masuk ke hatiku. Kemudian, beliau yang juga anti berbicara aib orang lain dalam keadaan ramai. Sekali masa, ibu yang tengah asyik bincang bersama teman karibnya. Ya, seorang ibu rumah tangga pula. Mereka sedang berbisik lembut membicarakan seseorang. Dengan ketegasan bapak, ibu langsung disuruh beranjak ke dalam. Keadaan berpihak pada bapak. Setelahnya ibu tak pernah mengulang seperti demikian lagi. Aku mencintai segala bentuk jiwa yang bapak punya.
Ini orang ke dua terindah di dunia ku. Iya, ibuku. Cinta ku pada bapak tak kalah hebat dengan cintaku untuk ibu. Cinta pada mereka memiliki takaran yang pas pada hatiku. Setiap aku pulang ke rumah setelah penat belajar di tanah rantau, ibu suka sekali mengajakku ke kamar tidurku. Tanpa kekata perintah, seolah aku mengerti bahasa tubuh ibu yang mungkin jikalau berbicara, berkata demikian "ayo ceritakan pada ibu sewaktu di sana". Dengan lancar semua cerita mengalir dalam suaraku sela rasa lelahku. Dan bisa selalu dipastikan tanpa dugaan, keesokan harinya ibu akan memasak makanan kesukaanku. Kata ibu "memasak itu juga termasuk belajar, bukan hanya belajar formal juga yang harus kamu dapat, Nak. Seindah apapun kamu kelak dipekerjaanmu, memasak itu hal wajib untuk suamiku". Itu pepatah yang selalu aku ikat dalam-dalam pada fikiranku. Dari sini aku selalu senang memasak, meski amatir.
Cerita terakhir yang tak boleh tertinggal pada tulisanku ini, adik perempuanku. Yang sekarang sudah berada di kelas 3 SMP. Dia sudah tak anak kecil lagi untuk sekedar mengerti arti hidupnya. Aku dan adikku memiliki sifat yang bisa dibilang bertolak belakang. Perihal di bawah ini bukan aku yang menyimpulkan, tapi berdasar pada kata orang-orang sekitar kami. Bahwa aku begitu lembut, pendiam dan tak banyak tingkah. Beda dengan adikku, dia cenderung tomboy, cuek dan batu. Batu maksudnya dia begitu keras, lebih batu dari aku. Iya begitulah anak-anak dari bapak ibukku. Satu hal yang selalu aku ingat, adikku tak pernah menangis dalam kesedihan. Entah apa yang menjadi sebabnya. Dia anak yang cukup tangguh demi menghadapi hidupnya. Itulah sedikit kisah warna keluargaku.
Sedikit munajatku, Bapak Ibu sehat terus ya! Sampai aku sukses nanti. Adik harus tetap menjadi adik yang kuat, terus belajar seolah selalu merasa kurang ilmu. Untuk Bapak Ibu, Dik.

Rembang, 2013. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar