Entah bahasa
yang bagaimana lagi yang harus aku ungkap dalam mengartikan sebuah kerinduan
dengan keluarga besarku. Bapak, ibu dan adikku. Aku menulis keluarga besar
lantas bukan berupa keluarga yang kata banyak orang berjumlah banyak. Tapi dari
mereka aku memiliki banyak hal besar yang setiap waktu aku syukuri sebagai
nikmat yang telah sang raja penguasa bumi beri untuk selalu ku jaga. Memiliki
mereka merupakan takdir kehidupan terindah di hidupku. Ketika sedang dalam
balutan kasih keluargaku ini, aku merasa semuanya begitu permata.
Dari bapak, aku
belajar tentang kesederhanaan. Bagaimana beliau mengajarkanku arti sebuah kata
sederhana yang setiap diucap beliau, batinku merasa direngkuh olehnya. Begitu
hangat. Pernah satu waktu, beliau berucap "Ini yang kita punya, jangan
suka iri terhadap segala apa pun di luar sana. Indahkan hatimu untuk tetap dalam
keadaan syukur dan sederhana". Masya Allah, nyes masuk ke hatiku.
Kemudian, beliau yang juga anti berbicara aib orang lain dalam keadaan ramai.
Sekali masa, ibu yang tengah asyik bincang bersama teman karibnya. Ya, seorang
ibu rumah tangga pula. Mereka sedang berbisik lembut membicarakan seseorang.
Dengan ketegasan bapak, ibu langsung disuruh beranjak ke dalam. Keadaan
berpihak pada bapak. Setelahnya ibu tak pernah mengulang seperti demikian lagi.
Aku mencintai segala bentuk jiwa yang bapak punya.
Ini orang ke dua
terindah di dunia ku. Iya, ibuku. Cinta ku pada bapak tak kalah hebat dengan
cintaku untuk ibu. Cinta pada mereka memiliki takaran yang pas pada hatiku.
Setiap aku pulang ke rumah setelah penat belajar di tanah rantau, ibu suka
sekali mengajakku ke kamar tidurku. Tanpa kekata perintah, seolah aku mengerti
bahasa tubuh ibu yang mungkin jikalau berbicara, berkata demikian "ayo
ceritakan pada ibu sewaktu di sana". Dengan lancar semua cerita mengalir
dalam suaraku sela rasa lelahku. Dan bisa selalu dipastikan tanpa dugaan,
keesokan harinya ibu akan memasak makanan kesukaanku. Kata ibu "memasak
itu juga termasuk belajar, bukan hanya belajar formal juga yang harus kamu
dapat, Nak. Seindah apapun kamu kelak dipekerjaanmu, memasak itu hal wajib
untuk suamiku". Itu pepatah yang selalu aku ikat dalam-dalam pada
fikiranku. Dari sini aku selalu senang memasak, meski amatir.
Cerita terakhir
yang tak boleh tertinggal pada tulisanku ini, adik perempuanku. Yang sekarang
sudah berada di kelas 3 SMP. Dia sudah tak anak kecil lagi untuk sekedar
mengerti arti hidupnya. Aku dan adikku memiliki sifat yang bisa dibilang
bertolak belakang. Perihal di bawah ini bukan aku yang menyimpulkan, tapi
berdasar pada kata orang-orang sekitar kami. Bahwa aku begitu lembut, pendiam
dan tak banyak tingkah. Beda dengan adikku, dia cenderung tomboy, cuek dan
batu. Batu maksudnya dia begitu keras, lebih batu dari aku. Iya begitulah
anak-anak dari bapak ibukku. Satu hal yang selalu aku ingat, adikku tak pernah
menangis dalam kesedihan. Entah apa yang menjadi sebabnya. Dia anak yang cukup
tangguh demi menghadapi hidupnya. Itulah sedikit kisah warna keluargaku.
Sedikit
munajatku, Bapak Ibu sehat terus ya! Sampai aku sukses nanti. Adik harus tetap
menjadi adik yang kuat, terus belajar seolah selalu merasa kurang ilmu. Untuk
Bapak Ibu, Dik.
Rembang, 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar