Suatu suara menghenyakkan sadarku; bunyi ponsel pada
meja belajar itu. Pukul empat subuh. Entah siapa yang mamasang alarm pada
ponsel itu, mungkin adikku. Masih terlalu pagi untuk tubuh ini. Beberapa belakangan
aku memang kurang istirahat.
Sejalan seketika, segala ingatan mulai berjejer dalam
alam fikirku. Sepasang bola mataku tetiba memicing tajam. Ada suatu peristiwa
sedari malam yang tak sempat ku sematkan kata selesai pada bagian akhir. Lekas
ku buka ponselku yang lain yang ku letakkan dekat kepalaku. Banyak pesan masuk
yang belum terbaca olehku, dengan sebab aku terlampau capek tadi malam,
mungkin. Dalam berapa detik kulemparkan segala ingatku berada dalam pesan-pesan
itu. Berimajinasi membacanya. Pesan dari dua orang yang kurasa begitu duri
dalam tubuh. Menusuk, sakit kemudian berdarah.
Aku kehilangan kuat, air mataku pecah, Sayang. Begitu
tawar, sedang penawarnya berada jauh di sana. Nafasku memburu satu-satu.
Mencoba mencari sela udara baik yang tulus masuk dalam rongga hidup pun mulut.
Sekali lagi, aku masih menyesali atas perbuatan yang aku lakukan. Aku mengutuk
diri, bagaimana seorang perempuan bisa begini? Hatinya tak perempuan.
Mereka sepakat menyalahkanku pada satu titik. Lagi, tak
ada tubuh yang tak membela tubuhnya. Aku kembali menyalahkan mereka pada
kepalaku. Apa yang harus dibanggakan dari membuka aib seseorang? Aku mulai
berseteru tentang siapa yang salah di sini, dan di sisi mana kebenaran berdiri.
Terlalu sibuk memikirkan sedemian rupa, tapi dengan sepenuh sadar pun aku tau
hanya dari salah satu kita diharuskan mengalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar