Selamat berbahagia, dan selamat menikmati Hari
Raya..
Sepertinya aku sungguh tak ingin melewatkan
setiap apapun yang kurasa dengan torehan tinta hitamku. Tanpa kecuali untuk
nikmat hari ini. Takdir memang tak pernah lepas dari dugaan insan Ilahi. Takdir
yang kumiliki bukan sebab aku mimpi bahagia malam lalu. Bahkan aku lupa, apa
aku semalam benar mimpi indah? Ah itu bukan hal utamanya.
Pagi sekali aku mengantar adik satu-satunya
dalam rumahku berangkat sekolah. Dengan segenap kuat dan sisa kantuk akibat
begadang, aku beranjak mandi. Hatiku masih dingin. Perpaduan yang menarik untuk
air yang juga tak kalah dingin pagi ini. Coba meneriaki tubuhku dengan diam
dalam hati. Parahnya lagi, hawa dingin tak kunjung hilang, mereka bersatu menembus
tulang-tulang tubuhku. Menjalarkan pada seluruh syaraf dan otot. Aku nyaris
beku. Sigap, kuantar adikku dengan motor matic-ku.
Dan.. Kalian tau? Jalan depan rumah begitu ramai dipenuhi lalu-lalang orang
yang hendak ke masjid. Memang, karena rumahku yang hanya berdua puluh meter
jaraknya dengan masjid besar.
***
Terburu sekali aku ke masjid karena memang
terlampau siang. Aku memang ada sedikit masalah dengan yang namanya pagi. Iya,
belum bisa bangun sepagi selayaknya orang-orang. Dari arah timur, aku melihat
sesosok perempuan setengah baya sedang berjalan sendiri. Aku tak cukup kabur
untuk gambaran di depanku. Dia temanku, teman masa kecil. Pasti, dia hendak ke
masjid pula. Selesai memarkir motor dengan apik pada rumah belakang, kusambar
mukena juga sajadah di kamarku. Tak luput juga untuk beberapa rupiah yang telah
disediakan ibu. Bapak sudah berangkat, Ibu tak ikut sholat. Dan aku, kali ini,
kali pertama ke masjid seorang diri. That's no problem. Di sudut jalan rumah,
kudapati adamku sedang berdiri, tak bergeming. Sedetik aku kaget. Kulempar
pandang pada dia, mata kami bertemu, juga sebaris bibir yang membentuk senyum.
Riang sekali aku memandangmu. Kembali kuberjalan menuju pelataran masjid.
Menjeja langkah dengan para muslim lainya. Tak ada altar di sana. Benakku mulai
menerka-nyata. Dengan yakin, aku berbicara pada diriku sendiri. Dia tak mungkin
di sudut jalan itu jika alasannya tak ingin bertemu aku. Subhanallah, mataku
mulai berkaca-kaca. Peristiwa semalam nyaris membuat kami nelangsa. Saat dimana
kita pada puncak rindu namun tak dapat bertemu. Pagi ini, dalam saksi alunan
takbir, kami bertemu. Bagaimana mungkin aku mendustakan nikmatMu (lagi)?
Ketika aku menggelar sajadah, aku menemukan
nikmat lagi. Kalian pasti tidak lupa kan, tentang seorang perempuan yang sempat
aku singgung di atas? Dia temanku, tak sengaja aku mendapatinya tepat berada di
sof depanku. Bagaimana pula aku tak mengenali wajah seteduh dia, bila hampir
dua puluh tahun kita berteman tanpa jeda? Memang setelah kita sama-sama beranjak
dewasa, kedekatan mulai renggang, tali persahabatan sudah terbukti lusuh nan
usang. Tapi aku yakin-aku harap kamu juga demikian-kebatinan kita sedang
berkeras dekat. Aku menangkapnya dari sebait tutur yang kamu ucap padaku saat
itu. Ada ketulusan bersinergi dengan suaramu. Masih pada lantunan takbir, saksi
hidupku bertugas. Pelan kupejamkan mata, membiarkan segenap hati mengurai
nikmat ini. Sungguh Allah, segalanya tiada tara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar