Selasa, 28 Januari 2014

Nikmat Idul Adha

Selamat berbahagia, dan selamat menikmati Hari Raya..
Sepertinya aku sungguh tak ingin melewatkan setiap apapun yang kurasa dengan torehan tinta hitamku. Tanpa kecuali untuk nikmat hari ini. Takdir memang tak pernah lepas dari dugaan insan Ilahi. Takdir yang kumiliki bukan sebab aku mimpi bahagia malam lalu. Bahkan aku lupa, apa aku semalam benar mimpi indah? Ah itu bukan hal utamanya.
Pagi sekali aku mengantar adik satu-satunya dalam rumahku berangkat sekolah. Dengan segenap kuat dan sisa kantuk akibat begadang, aku beranjak mandi. Hatiku masih dingin. Perpaduan yang menarik untuk air yang juga tak kalah dingin pagi ini. Coba meneriaki tubuhku dengan diam dalam hati. Parahnya lagi, hawa dingin tak kunjung hilang, mereka bersatu menembus tulang-tulang tubuhku. Menjalarkan pada seluruh syaraf dan otot. Aku nyaris beku. Sigap, kuantar adikku dengan motor matic-ku. Dan.. Kalian tau? Jalan depan rumah begitu ramai dipenuhi lalu-lalang orang yang hendak ke masjid. Memang, karena rumahku yang hanya berdua puluh meter jaraknya dengan masjid besar.
***
Terburu sekali aku ke masjid karena memang terlampau siang. Aku memang ada sedikit masalah dengan yang namanya pagi. Iya, belum bisa bangun sepagi selayaknya orang-orang. Dari arah timur, aku melihat sesosok perempuan setengah baya sedang berjalan sendiri. Aku tak cukup kabur untuk gambaran di depanku. Dia temanku, teman masa kecil. Pasti, dia hendak ke masjid pula. Selesai memarkir motor dengan apik pada rumah belakang, kusambar mukena juga sajadah di kamarku. Tak luput juga untuk beberapa rupiah yang telah disediakan ibu. Bapak sudah berangkat, Ibu tak ikut sholat. Dan aku, kali ini, kali pertama ke masjid seorang diri. That's no problem. Di sudut jalan rumah, kudapati adamku sedang berdiri, tak bergeming. Sedetik aku kaget. Kulempar pandang pada dia, mata kami bertemu, juga sebaris bibir yang membentuk senyum. Riang sekali aku memandangmu. Kembali kuberjalan menuju pelataran masjid. Menjeja langkah dengan para muslim lainya. Tak ada altar di sana. Benakku mulai menerka-nyata. Dengan yakin, aku berbicara pada diriku sendiri. Dia tak mungkin di sudut jalan itu jika alasannya tak ingin bertemu aku. Subhanallah, mataku mulai berkaca-kaca. Peristiwa semalam nyaris membuat kami nelangsa. Saat dimana kita pada puncak rindu namun tak dapat bertemu. Pagi ini, dalam saksi alunan takbir, kami bertemu. Bagaimana mungkin aku mendustakan nikmatMu (lagi)?
Ketika aku menggelar sajadah, aku menemukan nikmat lagi. Kalian pasti tidak lupa kan, tentang seorang perempuan yang sempat aku singgung di atas? Dia temanku, tak sengaja aku mendapatinya tepat berada di sof depanku. Bagaimana pula aku tak mengenali wajah seteduh dia, bila hampir dua puluh tahun kita berteman tanpa jeda? Memang setelah kita sama-sama beranjak dewasa, kedekatan mulai renggang, tali persahabatan sudah terbukti lusuh nan usang. Tapi aku yakin-aku harap kamu juga demikian-kebatinan kita sedang berkeras dekat. Aku menangkapnya dari sebait tutur yang kamu ucap padaku saat itu. Ada ketulusan bersinergi dengan suaramu. Masih pada lantunan takbir, saksi hidupku bertugas. Pelan kupejamkan mata, membiarkan segenap hati mengurai nikmat ini. Sungguh Allah, segalanya tiada tara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar