Selasa, 28 Januari 2014

Menapak jalan dikeheningan

Wanita itu sendiri, kemudian berhenti duduk di bangku pojok taman kota. Segores lampu kuning memancar mengenai pada sebagian tubuhnya. Pada sisi lain, terkena gelapnya pohon cemara. Menghitam. Angin lembut berlomba menerpa anak rambut di keningnya. Seperti biasa, kamu menggunakan kaos oblong dan jeans selutut. Jeans favorit kesukaan kamu. Jeans yang sudah lama using digerus waktu. Bagaimana demikian? Sel ingat dalam otakku masih bekerja dengan baik. Sebab kau pernah cerita padaku bahwa jeans itu pemberian ayah, sewaktu kau duduk pada bangku SMA. Dewasa ini masih kau suka sekali mengenakannya tanpa alasan yang tak ku ketahui asal jejaknya.
Menerawang tanpa batas, berjalan liar mencoba menyapa sosokmu. Bayanganmu selalu enggan beranjak pada fikiranku ini. Berperang melupakan kamu itu sama halnya dengan berenang pada dalamnya samudera. Dan itu tak akan mungkin bisa. Mencoba bertahan dalam kehampaan jiwa menikmati sedemikian pula rasa sakit. Cobalah kau di sini, berdiri di depanku sekarang. Berperan menjadi orang asing dan aku akan menerjemahkan segenap bahasa matamu yang kemudian aku lantas berkata, aku sudah tak mencintamu.
Air mata ini, jeritan sakit ini dan semua tentang kamu akan segera kurapikan. Ku kemas dalam kotak hitam di hidupku. Kau yang telah berhasil menubrukkan hubungan ini pada sekuat tembok saat kita sedang berada dalam sebuah kaca. Aku, kamu dan kaca itu pecah. Terbentur ke bumi, kemudian rata bersamanya. Maaf, aku yang tak pernah pandai memberi apa yang kau minta. Terlalu muluk, kau meminta bulan padaku. Sedang aku bagai seorang yang tak mempunyai kaki untuk melangkah, bahkan terbang. Aku mencoba memberikan kesempatan pada adam lain. Carilah. Melepaskanmu pada kesempatan ini sudah sangat bijak. Ini sudah jalanku. Tuhan telah menggariskan untukku. Akupun akan tetep memberikan sesuatu yg intan untuk orang setelah kamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar