Wanita
itu sendiri, kemudian berhenti duduk di bangku pojok taman kota. Segores lampu
kuning memancar mengenai pada sebagian tubuhnya. Pada sisi lain, terkena
gelapnya pohon cemara. Menghitam. Angin lembut berlomba menerpa anak rambut di
keningnya. Seperti biasa, kamu menggunakan kaos oblong dan jeans selutut. Jeans
favorit kesukaan kamu. Jeans yang sudah lama using digerus waktu. Bagaimana
demikian? Sel ingat dalam otakku masih bekerja dengan baik. Sebab kau pernah
cerita padaku bahwa jeans itu pemberian ayah, sewaktu kau duduk pada bangku
SMA. Dewasa ini masih kau suka sekali mengenakannya tanpa
alasan yang tak ku ketahui asal jejaknya.
Menerawang
tanpa batas, berjalan liar mencoba menyapa sosokmu. Bayanganmu selalu enggan
beranjak pada fikiranku ini. Berperang melupakan kamu itu sama halnya dengan
berenang pada dalamnya samudera. Dan itu tak akan mungkin bisa. Mencoba
bertahan dalam kehampaan jiwa menikmati sedemikian pula rasa sakit. Cobalah kau
di sini, berdiri di depanku sekarang. Berperan menjadi orang asing dan aku akan
menerjemahkan segenap bahasa matamu yang kemudian aku lantas berkata, aku sudah
tak mencintamu.
Air
mata ini, jeritan sakit ini dan semua tentang kamu akan segera kurapikan. Ku
kemas dalam kotak hitam di hidupku. Kau yang telah berhasil menubrukkan
hubungan ini pada sekuat tembok saat kita sedang berada dalam sebuah kaca. Aku,
kamu dan kaca itu pecah. Terbentur ke bumi, kemudian rata bersamanya. Maaf, aku
yang tak pernah pandai memberi apa yang kau minta. Terlalu muluk, kau meminta bulan
padaku. Sedang aku bagai seorang yang tak mempunyai kaki untuk melangkah,
bahkan terbang. Aku mencoba memberikan kesempatan pada adam lain. Carilah.
Melepaskanmu pada kesempatan ini sudah sangat bijak. Ini sudah jalanku. Tuhan telah
menggariskan untukku. Akupun akan tetep memberikan sesuatu yg intan untuk orang
setelah kamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar